Pesta demokrasi Pemilu 2019 telah usai, pasangan Jokowi dan KH. Ma`ruf Amin telah ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang Pilpres 2019. Polemik tentang komposisi kabinet baru pada Pemerintahan Jokowi periode kedua menjadi perbincangan menarik dua pekan terakhir, baik karena guyonan Muhaimin Iskandar (Ketua Umum DPP PKB) yang biasa disapa Cak Imin, yang mendorong 10 nama calon menteri dari PKB, maupun karena beberapa Partai Koalisi 02 yang terlihat aktif bermanuver untuk merapat ke Jokowi.
Ada beberapa alasan rasional yang dapat membenarkan Cak Imin, yang "berharap" agar periode kedua Pemerintahan Jokowi, PKB mendapat kepercayaan posisi kabinet lebih banyak dari periode sebelumnya. Pertama, Â Cak Imin ingin menyampaikan pada publik dan Jokowi, bahwa PKB sebagai Partai yang dilahirkan NU, saat ini memiliki banyak stok sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi dan layak sebagai calon menteri Jokowi. Hal ini terbukti 4 menteri PKB yang membantu Jokowi pada periode pertama terbilang sukses dan berkinerja baik.
Kedua, PKB sebagai salah satu Partai pengusung Jokowi, konsisten membela dan mensukseskan pemerintahan Jokowi, bahkan menjadi salah satu Partai yang memiliki peran penting pada kemenangan Jokowi, baik pada Pilpres 2014 maupun pada Pilpres 2019. Karena itu,wajar saja jika PKB saat ini, Â "berharap", diberi kepercayaan oleh Jokowi lebih besar dari periode sebelumnya.
Ketiga, Cak Imin terlihat, ingin mendorong tradisi koalisi Partai yang berbasis kinerja perjuangan pada saat Pilpres, profesionalitas, dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan oleh Presiden, sehingga tidak terkesan hanya bagi-bagi kekuasaan.
PKB sesungguhnya ingin menyampaikan, bahwa koalisi pertama periode Jokowi belum terbangun chemistri antar partai koalisi secara baik dan terkesan PDIP selama ini mendominasi; Hal ini Nampak saat pencopotan Marwan Ja'far dari Menteri Desa, adalah bukti PKB pada awal periode Jokowi mendapat perlakuan yang kurang baik, pada hal PKB saat itu menjadi penentu kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014.
Sisi lain yang menarik untuk dicermati, adalah sikap PKB yang cenderung kurang merespon sikap politik yang inkonsisten dari Partai Politik atas pilihan politiknya saat Pilpres, setelah mengalami kekalahan dalam pilpres, kemudian melakukan manuver yang kurang "sedap" untuk mendapatkan jatah mentri, seperti yang pernah dilakukan PAN dan Golkar pada Pilpres 2014.
Pada hal oposisi dalam negara demokrasi menjadi bagian penting yang mesti diberi porsi untuk berperan aktif mengontrol jalannya pemerintahan. Karena itu, pada periode kedua ini, seharusnya Jokowi tidak menjadi penting untuk mengakomodir semua partai poitik menjadi bagian dari pemerintah. Jauh lebih strategis jika Jokowi mensolidkan Partai koalisi yang ada dan memberi ruang secara proporsional dan berkeadilan kepada semua Partai koalisi yang telah "berdarah darah", memenangkan Jokowi pada Pilpres 2019.
Pada konteks inilah, Jokowi sebagai Pemimpin Bangsa, memiliki tanggung jawab, untuk membesarkan PKB sebagai Partai Politik yang dilahirkan NU, yang konsen pada isu pendidikan, ekonomi kerakyatan, dan isu Ideologi Transnasional yang berkembang  saat ini,  agar PKB sebagai Rumah politik Nahdliyin dapat berkonstribusi besar, untuk merawat dan menjaga NKRI dari berbagai ancaman.
Penulis : Arbit Manika