Saya lega, makin banyak teman-teman saya yang peduli sama kesehatan mentalnya. Saya lega, karena mereka bilang "Ra, makasih udah mau berbagi selama ini."
Artinya ketika saya coming out, saya melakukan sesuatu yang lebih dari membuka "aib" dan mempermalukan diri sendiri kan?
***
Hampir semua mental health fighter akan berperang batin dulu sebelum memutuskan pergi berkonsultasi atau berobat ke profesional. Baik ke biro psikologi maupun ke klinik psikiatri.Â
Psikilog atau psikiater itu kesannya udah seram duluan. Semuanya serba-membingungkan. Apalagi kalau ditambah kecemasan soal biaya atau penyakit apa yang nanti bakal ketahuan. Horor banget asli! Saya dan teman-teman saya yang akhirnya memutuskan berobat juga merasakan hal ini.
Namun sekarang, setelah saya pikir-pikir lagi ... sebetulnya bukan itu yang saya takutkan. Saya nggak pernah benar-benar takut berobat. Saya jauh lebih takut dengan reaksi orang, terutama orang-orang terdekat.
Saya takut kalau ada orang yang saya kenal tanpa sengaja ketemu saya di poli psikiatri. Saya takut dengan stigma negatif masyarakat terhadap mental illness.
Saya punya teman yang sampai saat ini masih sangat ketakutan kalau orang lain sampai tahu kondisinya. Dia takut kalau ketahuan berobat ke psikiater. Saya memahami benar ketakutannya, karena saya pun dulu merasa demikian. Bedanya saya pilih melawan sekalian dengan coming out, dan teman saya ini memilih pasif bersembunyi...
Saya nggak menyalahkan, juga nggak dalam posisi mengkritisi keputusan teman saya ini. Saya juga nggak berharap dia ikut coming out kaya saya. Saya sadar terlalu besar risikonya dan tidak semua orang sesiap (baca : senekat) saya.
Tapi saya melihat ada sesuatu yang salah rasanya.Â