Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dear All Mental Health Fighter, Tak Perlu Terlalu Keras Bersembunyi

10 Oktober 2019   10:11 Diperbarui: 11 Oktober 2019   13:43 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Jill Wellington dari Pixabay

dokpri
dokpri
Saya lega. Bukan lega karena mereka ternyata banyak yang "penyakitan" juga kaya saya, tapi lega karena akhirnya mereka berani mengambil keputusan untuk mencari pertolongan pada pihak yang tepat. Pihak yang lebih mengerti kondisi mereka dan juga berwenang mengobati.

Saya lega, makin banyak teman-teman saya yang peduli sama kesehatan mentalnya. Saya lega, karena mereka bilang "Ra, makasih udah mau berbagi selama ini."

Artinya ketika saya coming out, saya melakukan sesuatu yang lebih dari membuka "aib" dan mempermalukan diri sendiri kan?

***

Hampir semua mental health fighter akan berperang batin dulu sebelum memutuskan pergi berkonsultasi atau berobat ke profesional. Baik ke biro psikologi maupun ke klinik psikiatri. 

Psikilog atau psikiater itu kesannya udah seram duluan. Semuanya serba-membingungkan. Apalagi kalau ditambah kecemasan soal biaya atau penyakit apa yang nanti bakal ketahuan. Horor banget asli! Saya dan teman-teman saya yang akhirnya memutuskan berobat juga merasakan hal ini.

Namun sekarang, setelah saya pikir-pikir lagi ... sebetulnya bukan itu yang saya takutkan. Saya nggak pernah benar-benar takut berobat. Saya jauh lebih takut dengan reaksi orang, terutama orang-orang terdekat.

Saya takut kalau ada orang yang saya kenal tanpa sengaja ketemu saya di poli psikiatri. Saya takut dengan stigma negatif masyarakat terhadap mental illness.

Saya punya teman yang sampai saat ini masih sangat ketakutan kalau orang lain sampai tahu kondisinya. Dia takut kalau ketahuan berobat ke psikiater. Saya memahami benar ketakutannya, karena saya pun dulu merasa demikian. Bedanya saya pilih melawan sekalian dengan coming out, dan teman saya ini memilih pasif bersembunyi...

Saya nggak menyalahkan, juga nggak dalam posisi mengkritisi keputusan teman saya ini. Saya juga nggak berharap dia ikut coming out kaya saya. Saya sadar terlalu besar risikonya dan tidak semua orang sesiap (baca : senekat) saya.

Tapi saya melihat ada sesuatu yang salah rasanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun