Mohon tunggu...
Arai Amelya
Arai Amelya Mohon Tunggu... Freelancer - heyarai.com

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jalan Cerah Pertanian Indonesia di Tangan Generasi Muda

16 Agustus 2020   06:24 Diperbarui: 8 Oktober 2020   06:19 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya pak Supeno. Usianya sudah tidak muda lagi, bahkan mungkin lebih tua daripada Ayah saya yang tahun ini menginjak 66 tahun. Namun beliau hampir setiap hari selalu berangkat ke sawah dengan sepeda motor butut yang dari jarak lima ratus meter sudah terdengar mesinnya. Berisik. 

Sayup saya pernah dengar beliau dan Ayah saya berbincang, kenapa kok pak Peno masih saja ngurusi sawahnya yang ada di belakang pabrik distributor baja itu. Jawabannya sudah bisa ditebak, tipikal petani tradisional yang memperoleh profesi dari orangtuanya.

"Bagus ora gelem Pak ngopeni sawah. Jarene urip ndek tegalan iku rusuh, keringeten, yo arek jaman saiki. Eman hare, sawah tekan mbah e. Mungsret terus tapi sakben tahun," kelakarnya.

(Bagus tidak mau Pak ngurusin sawah. Katanya kerja di sawah itu kotor, berkeringat, ya anak zaman sekarang lah. Sayang Pak, sawahnya ini dari Kakeknya. Tapi berkurang terus setiap tahun).

Aku mendengarkan obrolan Bapak-Bapak itu sambil bermain dengan Gembul, kucing kesayanganku. Sebagai milenial, aku tak bisa menyalahkan mas Bagus yang memilih bekerja di jaringan minimarket populer itu. Membandingkan kerja di sawah yang terik, belum lagi harus rajin mengecek kondisi tanaman, berkutat dengan pupuk dan proses penjualan hasil panen, tentu jauh lebih merepotkan daripada scanning harga barang di mesin kasir, di dalam ruangan ber-AC.

Masalah Pertanian Masa Kini, Tak Diminati Generasi Muda?

Sebetulnya apa yang dialami pak Peno dengan mas Bagus yang enggan meneruskan profesi leluhurnya sebagai petani bukanlah hal pertama. Di negeri ini, banyak keturunan-keturunan petani yang enggan melanjutkan mata pencaharian di sawah. 

Bahkan keluarga Ibu saya yang adalah orang Minang dengan orangtua pasangan petani, hanya satu orang anak dan seorang cucu yang memilih tetap ada di Agam, Bukittinggi mengurusi sawah. Sementara lima anak dan belasan cucu lainnya? Memilih merantau ke ibukota dan menjadi pegawai perusahaan atau perkebunan kelapa sawit.

Tak heran kalau akhirnya dalam laporan angkatan kerja nasional 2018 yang sudah dirilis BPS (Badan Pusat Statistik), dari sekitar 264 juta penduduk Indonesia, hanya empat juta di antaranya yang berprofesi sebagai petani. Melalui data itu, artinya cuma sekitar 1,51% penduduk Indonesia menjadi seorang petani.

Tentu jumlah petani itu cukup sedikit, apalagi dengan 10% dari 1,9 juta kilometer persegi luas daratan Indonesia adalah lahan pertanian, seperti dilansir paktanidigital.

Berdasarkan paparan data BPS tersebut, tampaknya tidak berlebihan kalau negerti tengah krisis petani. Bayangkan saja, dalam 30 tahun terakhir ini, kelompok usia di bawah 35 tahun yang menjadi petani tercatat anjlok sebesar 25%. Di mana kelompok usia tersebut kini cuma mengambil porsi sebesar 13% dari total kelompok usia petani di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun