Di sana ada janji terikat. Ada yang lupa, ada yang mengingat. Sebuah janji suci: aku dan dia. Dan, semua orang dengan dia. Siapa dia?
"Apakah kau bersaksi?" Tanya dia.
"Iya, Aku bersaksi." Jawabku dengan tegas.
Beginilah dialog saat itu.
Waktu telah tiba. Saatnya melakukan pelayaran. Menelusuri samudera. Memecah ombak. Menikmati tarian gelombang yang datang dan pergi --mengayun mengikuti ritme angin. Bintang-bintang menghias langit. Bulan kian terang. Matahari tak menampakkan diri. Bukti malam telah tiba.Â
Pemandu perjalanan melaksanakan tugasnya. Dia menginformasikan agenda, "Setelah sampai tujuan, silakan memanjakan mata, menikmati pemandangan yang ada." Pemandu lalu berkata lagi, "Di sana semua istimewa, keasrian alam, aneka satwa tersedia" Tambahnya.Â
"Tetapi, disana tidak selamanya. Nikmatilah secukupnya. Jangan terlalu jauh mencari kepuasan. Kita akan melanjutkan perjalanan, ke tujuan berikutnya," Pemandu menghimbau dengan tegas.Â
Lalu, pemandu perjalanan mewanti-wanti (menghimbau), Â "Yang datang ke kapal lebih cepat mendapatkan atau bebas mencari tempat duduk yang terbaik; yang telat ditinggal."
Di tujuan pertama. Pemandangan sungguh memanjakan mata. Burung-burung melantunkan lagu andalannya. Batu karang sangat menggoda untuk dibawa. Bunga-bunga bak dara desa yang anggun, juga tersedia.
Sesampainya di tujuan, rombongan lalu-lalang mencari apa yang disuka. Ada yang berjalan sampai jauh dari peristirahatan kapal. Tergoda dengan keindahan yang ada. Memang, semakin jauh menyusuri pulau semakin indah pemandangan yang ada. Tumbuhan nan indah, burung-burung yang berkicau jauh lebih indah dari yang ada di dekat peristirahatan kapal.
Di dekat peristirahatan kapal, hanya ada pasir dan ikan-ikan kecil yang menepi. Tidak seindah di tengah pulau.Â