Diakui atau tidak gaya nya yg ceplas ceplos, keterbukaan yang ditawarkan, ketegasan yang ditunjukkan dengan langsung tunjuk hidup menjadikannya simbol, simbol perlawanan terhadap pemerintahan yang slintat slintut, simbol kebhinekaan, simbol keberanian, simbol yang bisa membangkitkan gairah untuk mememiliki dan berpartisipasi dalam pembangunan negeri.
Namun demikian, simbol apapun yang disematkan akan menjadi nisbi apabila banyak komponen yang mendegradasi dan menguburnya. Gaya ceplas ceplosnya kadang kala menjadi senjata makan tuan kepada image pribadi dirinya. Malah ini lebih sering menjadi titik serang lawan lawan politiknya. Ketegasannya dalam mengikuti protap dan blue print pembangunan menjadikannya seolah olah dia membangun tanpa merundingkan dengan rakyat kecil yang mungkin tergusur dari lahan yang digunakan
Tapi sudahlah, era dia sudah lewat, gubernur baru sudah dipilih oleh masyarakat Jakarta, sekarang kita tinggal membandingkannya saja. Membandingkan lebih transparan mana pemerintahannya, lebih akomodatif mana, lebih tanggap terhadap banjir mana, lebih tegas terhadap pelanggaran hukum dan perda mana.
Terkait kasus hukum yang menjeratnya, kita yang mengaku sebagai anak bangsa, seharusnya menghormati proses dan sistem yang berlaku. Pertama yang harus dilandasi adalah " iya beliau bersalah karena berkomentar atas kitab suci yang bukan domainnya" ini dibuktikan dengan statement beliau yang meminta maaf dan diikuti dengan pemberian maaf oleh beberapa tokoh organisasi kemasyarakatan Islam. Â Kedua, vonis dua tahun yang dijatuhkan ini bukan akhir segalanya. Mengapa bukan akhir dari segalanya? karena beliau dan tim pengacaranya sudah mengajukan banding. Kedua apapun keputusannya dengan di penjaranyanya beliau menjadikan pamor dan aura nya menjadi lebih menggema diseluruh Nusantara. Kelompok kelompok yang selama ini apatis atau ndak mau tahu dengan kondisi politik nasional menjadikan mereka tergerak untuk membikin gerakan gerakan dukungan. Sehingga secara moral Ahok bukan terhukum, dia malam seolah terkaruniai oleh "pulung" yang mendarat didirinya.
Namun demikian, proses drama politisasi yang terbungkus dalam PILKADA DKI 2017 ini seharusnya disudahi, demo berjilid jilid dengan angka cantik juga menyedot banyak budget dan pembiayaan, diikuti dengan parade bunga dan lilin. Padahal sejatinya kedua proses kelompok diatas adalah guna memberikan opini publik terhadap suatu kelakuan seseorang yang dianggap melawan hukum sehingga mampu mempengaruhi mereka yang punya kekuasaan diatas hukum. Atau dengan kata lain, kedua kelompok ini sama sama belom dewasa  karena berusaha mempengaruhi sistem peradilan Indonesia dengan pengerahan massa.
Menutup tulisan ini, saya mengajak semua pihak untuk kembali berkonsentrasi ke pekerjaannya masing masing, marilah kita berkonsentrasi berbuat terbaik di bidang kita untuk negeri ini. Marilah kita tunjukkan demokrasi di negeri ini lebih matang dari demikrasi dimanapun di dunia ini. Sudah ya sudah, mari kita bekerja