Pendahuluan
Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya sebanyak 20% untuk ditanami komoditi seperti kopi, teh, kina, cengkih, dan lain-lain. Kemudian hasil Perkebunan akan diserahkan dan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan. Bagi penduduk desa yang tidak mempunyai tanah diwajibkan bekerja selama 75 hari dalam setahun 20% pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Sistem ini disebut dengan Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel yang berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan wajib yang pernah dipraktikkan oleh VOC dahulu. Sistem Tanam Paksa juga diimplementasikan di daerah yang mempunyai tanah subur. Di Pulau Jawa meliputi, Semarang, Tegal, Jepara, Surabaya, Cirebon, Pekalongan, dan Pasuruan. Sedangkan di Pulau Sumatera meliputi Minangkabau, Lampung, Palembang, Ambon, dan Banda.
Awal Mula Dijadikan Perkebunan Teh
Di Pulau Jawa khususnya Jawa Tengah dipilih menjadi lokasi penanaman komoditi ekspor, salah satunya adalah teh. Dipilihnya perkebunan teh bukan tanpa alasan, teh merupakan komoditas ekspor utama dengan nilai tinggi serta menghasilkan devisa besar bagi Hindia Belanda. Selain itu, Belanda ingin mengurangi ketergantungan pada impor dan menciptakan produksi teh sendiri di Nusantara.
Perkebunan teh yang dibangun pada masa Kolonial dibangun di enam lokasi berbeda, salah satunya adalah Kebun Teh Medini di Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Kebun teh Medini merupakan salah satu peninggalan zaman kolonial Belanda yang didirikan pada tahun 1901. Dengan luas kebun sekitar 386 hektar dan berada di ketinggian 2.050 meter di atas permukaan laut.
Pada awalnya, kebun teh Medini dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan perkebunan ini beralih ke pemerintah Indonesia dan saat ini dikelola oleh Pabrik Teh Rumpun Sari Medini. Dahulu, Kebun Teh Medini merupakan kebun kopi dan kina milik NV Culture Medini yang diwakili oleh Firma Perk dan Co. Ltd di Jakarta yang merupakan milik warga kebangsaan Inggris. Pada masa kedudukan Jepang, Kebun Teh Medini tidak terpelihara dengan baik sehingga beralih menjadi tanaman pangan, seperti Pohon Jarak dan Jagung. Kemudian pada tahun 1958, tanaman tersebut diganti dengan komoditas teh karena dinilai lebih menguntungkan dari tanaman. Namun, di tahun 1961 Kebun Teh Medini dijual oleh pemiliknya kepada NV. Kencanawati Corporate.
Pada tahun 1963, akibat terjadinya pemberontakan G30S/PKI, Kebun Teh Medini mengalami keterlantaran. Kepemilikan perkebunan kemudian diserahkan kepada Departemen Perkebunan di Jakarta, dengan pelaksanaannya berada di bawah Inspektorat Perkebunan Provinsi Jawa Tengah. Dalam upaya pemulihan keamanan, Pemerintah Daerah Jawa Tengah mengambil alih perkebunan ini karena banyak karyawan yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa tersebut. Di tahun 1967, PT. Rumpun didirikan dan seluruh perkebunan di wilayah Jawa Tengah (DATI I) dikuasai oleh Kodam IV Diponegoro yang selanjutnya menyerahkan pengelolaannya kepada PT. Rumpun.
Di tahun 1980, PT. Rumpun dibagi menjadi dua perusahaan yaitu PT. Rumpun Teh dan PT. Rumpun Aneka Tanaman (Antan) dengan kantor berpusat di Semarang. PT. Rumpun Teh mengelola beberapa perkebunan termasuk Kebun Teh Medini di Ngesrepbalong, Kebun Teh Kemuning di Karanganyar dan Kebun Teh Kaligintung di Temanggung. Lalu PT. Rumpun Antan meliputi Kebun Cluwak di Pati, Kebun Catui Pojodadi di Cilacap, Kebun Samudra di Bumiayu dan Kebun Darma Kradenan di Majenang.
Dari Februari 1990 hingga April 2004, PT. Rumpun menjalin kerja sama dengan PT. Astra Agro Niaga yang merupakan anak perusahaan PT. Astra Internasional, Inc., dalam mengelola perkebunan. Kemudian mulai 2004 kepemilikan PT. Rumpun Sari Medini yang sebelumnya berada di bawah majaemen PT. Astra Agro Lestari Tbk, Jakarta beralih ke PT. Sumber Abadi Tirta Sentosa.