Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 hingga kini belum sepenuhnya hilang dari dunia. Krisis ini terasa istimewa karena sifatnya multifaset, mulai dari sektor kesehatan hingga akademisi, termasuk keandalan kebijakan sosial dan keuangan.
Salah satu sektor yang "menarik perhatian" dari hiruk pikuk kebijakan dalam menyikapi dampak pandemi Covid-19 adalah keuangan. Pada saat krisis, sistem sering tidak berfungsi dengan baik, seperti halnya dengan sistem keuangan di mana ada yang tidak beres.
Sebagai contoh, sistem keuangan terdiri dari rumah tangga, perusahaan, bank, dan pasar keuangan, yang saling berhubungan untuk berfungsi sebagai perantara. Distorsi di salah satu entitas ini menyebar dan memengaruhi fungsi tautan. Â Untuk menjaga kondisi keuangan yang optimal, Bank Indonesia sebagai otoritas kebijakan/solusi menjaga keseimbangan dan intermediasi yang berkualitas melalui berbagai perangkat kebijakan untuk mengurangi pengeluaran dan meningkatkan pajak di masa krisis ekonomi. Â Kondisi intermediasi di masa pandemi masih kurang optimal, salah satunya terlihat dari realisasi rasio perantara makroprudensial (RIM) yang berada di luar kisaran paling andal sebesar 84%. Agustus 2020 bertepatan dengan merebaknya gelombang pertama pandemi
Kesuksesan RIM yang kurang ideal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan antara arus likuiditas yang diterima lembaga keuangan dengan likuiditas yang disalurkan perbankan ke dalam perekonomian dalam bentuk pendanaan, yang salah satunya dapat diwujudkan dengan penerimaan dana pihak ketiga. DPK tumbuh 11% pada Desember 2020, sedangkan kredit mengalami kontraksi 2,41% pada periode yang sama.
Likuiditas yang diterima bank disimpan dalam bentuk alat likuid, terlihat dari rasio Alat Likuid/DPK Desember 2020 sebesar 31,67%, dengan ketentuan minimal 10%. Perubahan preferensi perawatan likuiditas bank dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi yang tinggi, sejalan dengan kebijakan pembatasan sosial yang mengubah risk appetite bank dari sisi penawaran kredit.
Bukan hanya dari sisi penawaran, rendahnya penyaluran kredit tersebut didorong juga dari sisi permintaan yaitu pelaku usaha belum melihat prospek bisnis menjanjikan di saat pandemi. Fenomena menurunnya penyaluran kredit, baik dari sisi penawaran maupun permintaan, disebabkan oleh tingginya ketidakpastian dalam perekonomian disebut sebagai credit crunch.
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 hingga kini belum sepenuhnya hilang dari dunia. Krisis ini terasa istimewa karena sifatnya multifaset, mulai dari sektor kesehatan hingga akademisi, termasuk keandalan kebijakan sosial dan keuangan.
Salah satu sektor yang "menarik perhatian" dari hiruk pikuk kebijakan dalam menyikapi dampak pandemi Covid-19 adalah keuangan. Pada saat krisis, sistem sering tidak berfungsi dengan baik, seperti halnya dengan sistem keuangan di mana ada yang tidak beres.
Untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 hampir semua negara telah menerapkan kebijakan counter-cyclical. Menurut literatur ekonomi, kebijakan counter-cyclical dapat definisikan sebagai kebijakan proaktif yang dilakukan oleh pemerintah atau bank sentral untuk mengatasi pergerakan siklus ekonomi yang ekstrem, misalnya booming ekonomi maupun krisis dan bahkan resesi ekonomi
ADAPUN TUJUAN B.I
Bank Indonesia mempunyai satu tujuan yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah meliputi stabilitas nilai mata uang relatif terhadap barang dan jasa (inflasi) dan stabilitas relatif terhadap mata uang negara lain (nilai tukar atau nilai tukar).