Mohon tunggu...
Andi Pasenringi
Andi Pasenringi Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Apa adanya

Juru wabah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Badik Terhunus di Genggaman Dua Orang Bugis (Catatan Buat Kanda AM dan NH)

30 Maret 2011   17:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:16 6501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ahir bulan maret 2011 ini kita disuguhi “perang saudara”. Dua lelaki bugis menghunus badik. Menegpora Andi Alfian Mallarangeng versus ketua PSSI Nurdin Halid. Perseteruan keduanya sudah sampai pada titik kuulminasi perseteruan bugis. Dalam pepatah bugis yang kira-kira maknanya “ketika badik telah keluar dari sarungnya pantang diselip dipinggang sebelum terhujam ditubuh lawan” pepatah yang selalu dijaga oleh para tetuah. Makna filosofinyamengingatkan agar suatu masalah selalu dicari solusi terbaik tanpa badik. Dalam tradisi bugis berhadap-hadapan dengan lawan yang diselesaikan dengan “assigajangeng”(baku tikam) adalah cara terakhir, dilakukan dalam satu sarung. Dapat dibayangkan betapa beraninya orang yang melakukan itu. Face to face masing-masing bersenjata badik dengan ring hanya selembar sarung. Tempat,waktu dan penyaksi ditentukan. Biasanya hal ini sulit dihindari kalau masalah menyangkut “siri” (malu,harga diri). Maka kedua petarung menyiapkan badik terbaik miliknya, badik warisan turun temurun yang riwayatnya panjang banyak mengarungi peperangan dan duel satu lawan satu dimasa lalu, tentu tidak terbilang nyawa meregang dipisahkan tubuhnya oleh badik bertuah itu. Tuak dan jeruk nipis disiapkan sebagai air rendaman badik agar sang badik menajam dan “mauso”(ampuh melukai dan membunuh).

Kisruh PSSI dengan batalnya kongres Riau adalah pukulan bagi kita sebagai bangsa. Ditengah perjuangan menorehkan prestasi sepakbola dikancahdunia, kepengurusan badan sepak bola tertinggiditanah air tidak dapat bermusyawarah meneruskan kepengurusannya. Batalnya kongres menjadi silang sengketa antara pemerintah yang diwakili oleh menegpora Alfian Mallarangeng dan PSSI dalam hal ini Nurdin Halid sebagai Ketum. AM dan NH saling tuding sebagai biang kerok masalah. NH berkilah karena intervensi pemerintah sehingga suasana kongres tidak kondusif untuk dilanjutkan sementara AM berdalih NHmanipulatif untuk melanggengkan kekuasaannya di PSSI. Keduanya telah menguhunus badik! AM tidak lagi mengakui PSSI dibawah komando NH sementara NH merasa tidak perlu mendapat pengakuan pemerintah. Genderang perang ditabuh, menyeret dua partai besar pula, Demokrat dan Golkar dimana keduanya adalah pentolan dimasing2 partai itu.

Kebetulan saja keduanya adalah orang bugis yang juga sedaerah, Bone, Sulawesi selatan. Maka pernyataan2dalam berbagai wawancara media dan talk show oleh keduanya adalah lakon pementasan perang lelaki bugis dengan badik dipanggung nasional. Secara gamblang dimaknai orang sebagai karakter bugis atau malah yang tahu latarbelakang daerah asal mengatakan begitulah bugis Bone berseteru. Sikap keukeh, kesan temperamen mereka jelas dihubungkan dengan kebugisannya dan darah Bonenya. Padahal sikap pekerja keras,komitment tinggi,bertanggung jawab,cepat mengambil keputusan dan pemberani memanglah sikap dasar orang bugis yang dibesarkan oleh kegarangan laut. Tetapi sikap itu tidak pantas dilakukan dengan model perseteruan keduanya. Imbas perang dua tokoh bugis ini hanya menistakan bugis dan daerah Bone khususnya yang bermotto “beradat”.

Kabupaten Bone, kira2 200km sebelah timur kota Makassarmerupakan wilayah yang berbatasan laut di teluk Bone, salah satubekas kerajaan besardi Sulawesi selatan selain Gowa dan Luwu. Bone adalah kabupaten terbesar di Sulsel dengan 27 kecamatan. Salah satu daerah yang sangat menjaga adat istiadat dan tradisi masa lalu. Oleh karena itu bahasa daerah yang digunakan dua macam, bahasa bugis awam (pasaran, yang diapakai sehari2) dan bahasa bugis halus(lebih banyak digunakan pada acara adat). Tatakrama dan kesantunan menunjukan bangsa berasalnya orang, tuturkata dan bahasa sering dinisbahkan dengan nasab seseorang yang berhubungan dengan tingkatan darah kebangsawanan. Oleh karenya biasanya sejak dini anak2 diajarkan tatakrama dan bertutur. Putera terbaik Bone banyak mencatatkan namanya sebagai tokoh bangsa, sebut saja diantaranya Jenderal AM. Jusuf mantan Menghankam Pangab, M.Jusuf Kalla mantan Wapres, AM.Ghalib oditur militer yang kemudian menjadi Jaksa Agung, mantan menteri Hukum Ham A.Mattalata dan sederet nama lainnya, belum lagi tokoh bugis dari berbagai daerah di Sulsel. Mereka telah berkarya untuk bangsa ini dan menjadi kebanggaan daerah. Bagaimana dengan kedua tokoh ini?.

Sebagai orang bone, NH dan AM adalah dua orang saya kenal karena kota Watampone, ibukota Bone bukanlah kota besar. Nurdin Halid, putera seorang pendidik, ayahnya guru yang kemudian menjadi penilik. Sejak muda NH sudah menjadi idola anak2 dan remaja Bone. Kepandaiannya bermain bola, menari, beraklamasi dan seorang orator menjadikannya dipuja. Setamat IKIP Ujungpandang karirnya menanjak cepat di Koperasi dan Goro terakhir kiprahynya di Sulsel adalah Dirut Puskud dan Goro. Menjadi orang kaya yang dermawanmelambungkan namanya bukan hanya di Bone tapi seluruh Sulsel apalagi ketika terpilih sebagai ketua umum PSSI mengalahkan menteri ketika itu Yakob Nuwawea. Sayang, ketika tersandung masalah hukum dan menyandang status sebagai koruptor popularitasnya meredup. Sementara AM adalah anak seorang pamong yang kemudian menjabat Walikota Parepare. Ayahnya, Andi Mallarangeng meninggal ketika AM masih belia. Ditopang keluarga besar dan kecerdasanyaAM dengan mudah melanjutkan studi sarjana di UGM dan Amerika sampai jenjang doktor. Karena waktunya yang tidak banyak di Bone, dia tidak setenar NH sebelumnya. Popularitas AM, ratingnya meninggi seiring seringnya dia diminta mengisi talkshow di TV saat tsunami politik mengguncang Indonesia ahir masa orba dan awal reformasi. Namanya terus melambung seperti karier politiknya yang melejit bak meteor. Setelah dipercaya sebagai jubir presiden SBY, kini dia diamanahi tugas sebagai Menpora. Meskipun sempat terjadi resistensi di masyarakat Bone ketika dia bersikap lain dimasa kampanye pilpres dengan menjagokan SBY bukan JK.

Kini dua tokoh bugis Bone ini berhadap-hadapan dalam sarung dengan badik terhunus digenggaman keduanya siap “membunuh” , siapa yang menang???? Tidak ada!. Menang jadi arang kalah jadi abu. Ksatria bugis menghunus badik dalam pertarungan kehormatan (siri), bukan pelampiasan ego pribadi yang kemudian dianggap siri. Maka kepada kedua senior yang saya hormati ini berdamailah demi Indonesia yang maju, demi tradisi bugis yangselalu mengaung ditelinga kita dimasa kecil, semboyan tetuah bugis “sipakatau, sipakalebbi, sipakainge, sisapparang deceng te sisapparang ja’,sirui menre teng si rui no’(saling menghargai, memuliakan, mengingatkan, menyeru kebaikan, tidak mencari2 kesalahan, saling mengangkat dan tidak saling menjatuhkan) nilai2 luhur yang menjadi kearifan lokal itu sepantasnya menjadi pelecut bagi kita sebagai pelopor perdamaian. Bagi saya, anda berdua telah menginspirasi banyak orang muda tanah air apalagi di Bone untuk menjadi sukses dan ikut andil membesarkan bangsa. Saling memaafkan tidaklah merendahkan martabat,Maka bila anda masih berdarah bugis saatnya paenteng siri dengan ahiri pertikaian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun