Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menabung untuk Menyeka Airmata dan Merekahkan Senyum Keluarga

10 April 2017   09:26 Diperbarui: 10 April 2017   17:00 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya lahir dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Sekadar untuk kebutuhan primer alhamdulillah bisa terpenuhi dengan jerih payah kedua orang tua yang banting tulang siang malam. Namun untuk kebutuhan sekunder dan tersier, kami tentu tak bisa berharap banyak. Syukurnya saya dibiasakan mandiri sejak kecil. Caranya sederhana sekali: uang saku diberi mingguan.

Dengan begitu kami belajar mengelola uang meski tak banyak. Pengeluaran yang tidak perlu bisa ditahan. Saya belajar membedakan kebutuhan dan keinginan. Selain itu, saya juga mulai berjualan kecil-kecilan di sekolah. Hasilnya saya bisa menabung. Awalnya pakai celengan ayam jago. Tapi lama kelamaan kok terasa gimana gitu.Saya rasa kurang aman. Uangnya lalu saya titip kepada paman yang kebetulan bekerja di sebuah bank. Walau tak banyak, saya sangat senang sudah punya rekening tabungan.

Suatu ketika, keluarga kami menghadapi paceklik ekonomi. Ayah saya terjerat utang di sana-sini. Untunglah tabungan saya yang terkumpul cukup lumayan. Ada dua juta rupiah. Bisa menambal kondisi kritis ini. Nominalnya sangat besar bagi saya di masa itu. Saya bersyukur sekali sudah terbiasa menabung sehingga punya dana cadangan untuk membantu Ayah.

 Lain waktu, sepeda motor milik orangtua saya dicuri orang di parkiran sebuah warung saat dibawa oleh seorang adik saya. Padahal itu keretasatu-satunya yang biasa dipakai Ayah untuk mengantar Mamak mengajar di sekolah. Tanpanya, Ibu harus naik becak pulang pergi yang pastinya akan mengurasi biaya. Saya bersyukur sekali sudah terbiasa menabung sehingga punya dana cadangan untuk membeli kereta seken untuk Mamak. Tak bagus-bagus amat, sih. Yang penting bisa dimanfaatkan untuk kembali mengais rezeki.

Tak cuma itu, pada bulan Mei 2016 lalu. Keluarga saya tertimpa musibah. Saat itu almanak menunjukkan tanggal 28, seminggu jelang Ramadhan, kami bersiap menempati rumah yang baru saja selesai dibangun. Kami baru saja mengangkut dan menyusun barang pagi harinya. Baru selesai memasang gorden pukul sembilan. Baru siap memasang pendingin ruangan di tengah hari. Baru kelar menyusun barang menjelang ashar. Bahkan, rak piring tempahan kami baru datang pukul enam sore. Tak sampai setengah jam kemudian, saat saya sedang pergi ke ATM. Hujan turun deras diliputi angin kencang. Tanpa dinyana rupanya puting beliung bergerak sesuai skenario-Nya. Rumah kami dihantamnya. Seng beterbangan. Plafon gypsum runtuh dimana-mana.

Istri saya yang tengah mengandung terisak sejadi-jadinya saat saya tiba di rumah. Dia menghambur ke pelukan saya. Saya dekap erat-erat. Sambil sesenggukan ia berkata, “Bang, rumah kita hancur, Bang. Kekmana ini, Bang?

 Saya cuma bilang, “Kita pernah melalui yang lebih berat dari ini. Insya Allah pasti ada jalan keluarnya. Sayang tenang saja. Husnudzhan saja sama Allah.” Saya ingatkan dia bagaimana kami mengawali rumah tangga kami, bukan mulai dari nol. Tapi dari minus. Minus puluhan juta. Sahabat yang belum pernah saya ceritakan kisahnya, bisa membaca cerita lengkapnya dalam bagian akhir buku saya Married Because of Allah.

 Akhirnya, memang selalu ada solusi asal kita berprasangka baik kepada Tuhan dan memaksimalkan ikhtiar semampunya. Tak kurang lima puluh juta rupiah biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki semua yang rusak. Segala puji bagi-Nya, masih ada tabungan yang kami simpan. Karena memang kan definisi tabungan yang kami pahami itu adalah “yang tidak disentuh, kecuali dalam keadaan darurat”. Inilah saatnya kami manfaatkan. Sedih pasti mengharu-biru suasana kami di minggu itu. Akan tetapi kepasrahan dan upaya memunguti remah hikmah tetap lebih utama. Saya bersyukur sekali sudah terbiasa menabung sehingga punya dana cadangan untuk memperbaiki rumah yang rusak di saat-saat genting seperti itu.

Begitulah hidup. Masa depan siapa yang bisa menebak? Tak seorangpun yang bisa memastikan apa yang terjadi kemudian hari. Kecuali mungkin hanya prediksi yang sangat mungkin meleset. Dengan itulah hidup kita menjadi dinamis. Sebab kalau peristiwa masa datang sudah kita ketahui sekarang bisa dibilang hidup ini bakal nggak asyik. Nggak seru.

 Dari berbagai pengalaman yang sudah saya alami, jujur saya rasakan betul manfaat menabung. Menabung sungguh bisa menyeka airmata yang membulir bening di pipi kekasih tersayang, buah hati tercinta atau orangtua yang tak kan terlupa. Tak hanya itu, setelahnya hasil tabunganpun dapat merekahkan senyum keluarga. Belikan hadiah ulang tahun anak. Belanjakan baju baru sebagai kado pernikahan untuk istri. Bisa pula untuk umrahkan orangtua.

 Seperti kata perencana keuangan Ahmad Gozali dalam Habiskan Saja Gajimu, setelah menunaikan hak Tuhan (zakat, infak, sedekah) dan hak sosial (cicilan utang), kita harus memprioritaskan hak kita di masa depan (tabungan) sebelum hak kita di masa sekarang (biaya hidup).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun