Mohon tunggu...
Anugerah WahyuArizka
Anugerah WahyuArizka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Government Science student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bantuan Sosial untuk Pemerintah

17 April 2021   05:13 Diperbarui: 17 April 2021   05:14 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kita semua tahu bahwa setiap manusia hidup dengan memiliki tujuan hidupnya masing – masing dan mereka hidup dengan berpegang teguh pada tujuan mereka, salah satu contohnya yaitu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan serta kesejahteraan baik secara materiil maupun moril. Mereka setidaknya akan berjuang dengan sekuat tenaga demi mendapatkan atau meraih tujuan hidupnya tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan juga bahwa tujuan tersebut tidak berhasil didapatkan oleh mereka. Dikarenakan manusia merupakan makhluk tuhan yang paling cerdas yang diberi akal pikiran, ketika mereka gagal meraih tujuan tersebut, yang pertama kali muncul di pikiran mereka adalah bagaimana dirinya akan menghalalkan segala cara agar bisa mendapatkan hal yang mereka inginkan. Kegiatan yang dilakukan tersebut bisa saja termasuk ke dalam perbuatan yang melawan ajaran – ajaran agama dan tata hukum yang berlaku di Indonesia.

            Banyak persepsi yang muncul dari masyarakat ketika mendengar atau membahas kata “Legislator”, DPR lebih singkatnya. Salah satu persepsi yang melekat pada masyarakat yaitu mengenai korupsi, itu lah kata yang mungkin pertama kali keluar di benak masyarakat. Bahkan seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua orang yang menduduki kursi pada lembaga legislatif melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini bukan hal yang mengagetkan lagi bagi masyarakat sendiri. Karena, memang dari dulu permasalahan utama yang besar pada legislator tidak lain dan tidak bukan adalah korupsi. Hal tersebut dinilai sudah “membudaya” sejak zaman dahulu mulai dari sistem kerajaan, masa penjajahan, pemerintahan orde lama, orde baru, masa reformasi hingga sekarang. Sampai detik ini pun, pasti masih terdapat praktik – praktik korupsi, baik dalam jumlah sedikit atau yang besar sekalipun.

            Jika melihat pengertian korupsi dari KBBI, dijelaskan bahwa korupsi yaitu merupakan bentuk dari penyimpangan atau penyalahgunaan uang negara atau sekalipun perusahaan ataupun lainnya untuk keuntungan pribadi maupun orang lain. Beberapa tokoh yang ahli di bidangnya juga mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian korupsi. Menurut Juniadi Suwartojo (1997), korupsi merupakan tingkah laku atau tindakan seseorang yang melanggar aturan - aturan yang berlaku dengan menggunakan atau menyelewengkan kekuasaan atau wewenangnya melalui proses pengadaan, menetapkan iuran, penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan yang tujuannya untuk menerima atau mengeluarkan uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan atau jasa demi terpenuhinya kebutuhan yang berasal dari kepentingan pribadi dan hal tersebut juga merugikan kepentingan dan keuangan negara atau masyarakat. Terkait dengan pernyataan yang sudah disampaikan oleh Juniadi Suwartojo ini dapat kita temukan bahwa bentuk – bentuk korupsi memiliki berbagai jenis, seperti contohnya Korupsi Uang Negara (mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan mengambil uang negara), Korupsi Suap Menyuap (melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban demi mendapatkan sebuah tujuan), Korupsi Tindakan Pemerasan (memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu yang dirinya inginkan), Korupsi Penggelapan Jabatan (contohnya yaitu penggelapan laporan keuangan atau menghilangkan barang bukti), Korupsi Gratifikasi (modus memberikan hadiah), Korupsi Benturan Kepentingan dalam Pengadaan (menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan).

            Nye, J. S. dalam Corruption and Political Development (1967) juga mengungkapkan bahwa korupsi dianggap sebagai tingkah laku yang sifatnya destruktif dari norma etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh adanya sebuah kepentingan yang berasal dari pribadi atau diri sendiri, seperti kebutuhan primer atau lainnya. Tidak hanya itu, pernyataan tersebut diperkuat lagi di dalam sebuah kamus yang pertama kali ditemukan oleh Henry Campbell Black dan diberi nama Black’s Law Dictionary atau kamus hukum hitam yang di dalamnya juga terdapat penjelasan mengenai korupsi yang artinya perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan keuntungan secara tidak resmi dengan memanfaatkan hak pihak lain, menggunakan situasi dengan cara yang salah atau keliru atau tujuannya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain, dan hal yang dilakukan tersebut  berlawanan dengan hak dari pihak yang lain.

            Sebelum Negara Indonesia merdeka, tepatnya pada zaman penjajahan Belanda, terjadi korupsi besar – besaran yang dilakukan baik dari rakyat pribuminya sendiri maupun dari pemerintahan Belanda. Terjadinya korupsi pada masa penjajahan Belanda dimulai dari bupati sendiri yang melakukan tindak korupsi mengenai hal yang terkait dengan penyerahan pajak beserta persembahannya kepada pihak Belanda, yaitu kepada VOC, dimana bupati memiliki privilege tersendiri yang membuat bupati tersebut diberi kewenangan atau hak untuk membayar usaha para petani kopi pada saat itu dengan gaji yang sangat rendah. Berbanding terbalik dengan pendapatan yang diterima oleh bupati dari kumpeni sendiri terkait dengan jual beli kopi. Penghasilan yang di dapat oleh bupati sendiri jumlahnya jauh lebih besar dari rakyat dibawahnya termasuk para petani kopi. Hal ini dikarenakan, mereka menetapkan harga kopi lebih tinggi kepada pihak VOC dari harga yang ditetapkan oleh petani kopi.

            Berangkat dari itu, setelah Negara Indonesia merdeka, korupsi masih terus menerus ada dan rasanya seperti mustahil untuk dihilangkan. Ditengah – tengah kondisi pandemi covid-19 ini, masih saja banyak ditemukan oknum – oknum pelaku tindak pidana korupsi yang tentu saja selain merugikan rakyat, merugikan pemerintahannya sendiri. Karena saat ini memang kondisi perekonomian Indonesia mengalami penurunan dan dari pihak pemerintahan yang sedang berjalan di Indonesia juga masih dalam proses untuk mengupayakan bagaimana cara agar perekonomian Indonesia stabil atau bahkan naik di tengah – tengah pandemi ini. Namun, pada realita nya situasi yang seperti ini malah dianggap atau terlihat sebagai ajang yang luas bagi mereka untuk menjalankan aksi korupsinya. Hal ini dikarenakan minimnya pengawasan akan berjalannya proses birokrasi terhadap pengeluaran anggaran para birokrat. Baru – baru ini ditemukan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh legislator dan tentunya meresahkan masyarakat, yaitu terjadinya korupsi atas dana bantuan sosial covid-19. Secara keseluruhan, pihak pemerintah menyampaikan bahwa pada awalnya anggaran bantuan sosial sebagai dana perlindungan sosial kepada masyarakat diperkirakan berjumlah Rp230,21 triliun. Namun, dana atau besaran jumlah yang diterima secara real oleh masyarakat sendiri tidak sesuai dengan apa yang dianggarkan oleh pemerintah itu sendiri. Alih – alih mengalirkan semua dana tersebut ke masyarakat sebagai tunjangan mereka sehari – hari di tengah kondisi pandemi covid-19 yang kian sulit ini, mereka malah mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri.

            Menteri Sosial RI yang sekarang sudah purna tugas sekaligus politikus yang berasal dari partai PDI Perjuangan (PDIP), Juliari Peter Batubara diputuskan sebagai terdakwa pada kasus tindak pidana korupsi dana bantuan sosial Covid-19 yang disebutkan bahwa dirinya menerima jumlah uang seluruhnya terbilang sebanyak Rp17 milyar dari dua paket pelaksanaan bansos berupa sembako untuk penanganan covid-19 di wilayah Jabodetabek Tahun 2020. Disampaikan bahwa jumlah keuntungan yang didapat dari masing – masing paket yaitu sekitar Rp8,2 milyar dan Rp8,8 milyar. Namun, hal ini mendapat penolakan dan sanggahan dari kuasa hukum Juliari, Dion Pongkor yang menyatakan bahwa sebenarnya ini semua bukan murni kesalahan dari Juliarinya sendiri, namun dari orang yang sudah diberi kepercayaan oleh Juliari untuk memilih vendor mana yang akan digunakan dan bagaimana urusan dengan vendor tersebut diberi kekuasaan penuh terhadap orang yang ditunjuk sebagai pejabat pembuat komitmen, yaitu Mateus Joko Santoso. Dion menyatakan bahwa margin yang diambil dari proses pengadaan barang untuk bantuan sosial kepada masyarakat tersebut disebabkan oleh Mateus yang melebihkan jumlah dana dari yang sebelumnya harus dibayarkan kepada vendor. Jadi, sebenarnya korupsi yang dilakukan pada proses pengadaan barang bantuan sosial tersebut ada pada Mateus, bukan sepenuhnya pada Juliari menurut Dion.

Permasalahan korupsi yang disebabkan oleh Juliari Batubara ini disebut oleh Ekonom dari Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet merupakan permasalahan yang intinya ada pada aktivitas mark up harga. Istilah mark up harga ini dapat diartikan sebagai kegiatan yang didalamnya dilakukan praktik meningkatkan harga atau nilai dari suatu barang dengan cara sengaja yang bertujuan untuk mengambil keuntungan baik itu dalam jumlah sedikit atau jumlah yang cukup banyak per barangnya. Singkatnya, istlah mark up ini digunakan ketika seseorang atau salah satu pihak memalsukan jumlah uang menjadi lebih tinggi agar dapat diambil lebihnya sebagai keuntungan bagi dirinya sendiri. Contohnya, pihak A adalah oknum yang melakukan praktik mark up, dan pihak B merupakan penyedia barang atau jasa yang dibutuhkan oleh pihak A. Ketika pihak B menentukan harga per barang yang dijual dengan harga kurang lebih sekitar 50 ribu rupiah, pihak A menuliskan pada laporan dan melaporkan kepada atasan mereka bahwa harga per barang tersebut sekitar 60 ribu hingga 80 ribu, disitulah praktik mark up terjadi. Biasanya, mark up ini satuannya berupa persen, yang kemudian dikalkulasikan dengan harga awal yang sudah ditentukan. Hal ini tidak dapat dihindari ketika bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat yaitu berwujud barang, seperti sembako dan kebutuhan sehari – hari lainnya.

Tidak hanya di dalam lingkup Jabodetabek saja, Bupati Bandung Barat, Aa Umbara Sutisna beserta anaknya, Andri Wibawa juga diduga ikut terjerat dalam tindak pidana korupsi atas dana bantuan sosial Covid-19 di wilayah Bandung dan sekitarnya. Dijelaskan bahwa Aa Umbara sendiri menerima jumlah uang sebesar 1 miliar rupiah. Sedangkan, Andri disebut – sebut memperoleh sekitar 2,7 miliar rupiah dari hasil korupsinya tersebut. Hal ini dikarenakan Andri memanfaatkan dua perusahaan asal Bandung, yaitu CV. Jayakusuma Cipta Mandiri dan CV. Satria Jakatamilung sebagai perantara untuk menjalankan aksi korupsinya terkait dengan pelaksanaan pengadaan bahan pangan untuk bantuan sosial. Baik Aa Umbara dan Andri sendiri terpaksa harus menjalani minggu – minggu awal Ramadhan dengan berpuasa di dalam rumah tahanan KPK yang diperkirakan 20 hari lamanya. Hal tersebut perlu dilakukan karena keduanya masih dalam tahap penyidikan oleh KPK dan tentunya dengan memperhatikan protokol kesehatan yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Jika dihitung kembali, ayah dan anak tersebut mendapatkan jumlah uang sekitar 3,7 rupiah dari hasil aksinya.

            Sesuai dengan jenis – jenis korupsi yang telah disebutkan di atas, baik Juliari maupun Aa Umbara beserta anaknya melakukan tindak pidana korupsi dengan jenis korupsi uang negara (karena jumlah yang diterima dari pusat terkait dana bantuan sosial dan dana yang turun langsung dan diterima oleh masyarakat tidak sesuai dengan realitanya, uang negara yang digunakan tersebut ia korupsi untuk mengambil keuntungan sebanyak – banyaknya) dan korupsi terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu dalam menghadirkan barang seperti satu paket sembako atau bahan pangan yang diberikan kepada masing – masing warga. Alih – alih disebut sebagai dana bantuan sosial untuk masyarakat, sebaliknya malah judul yang tepat bagi kegiatan ini adalah penyaluran dana bantuan sosial untuk pemerintah. Karena, jumlah yang memang sudah dianggarkan dari pemerintah oleh pemerintah bukannya segera disalurkan secara langsung kepada masyarakat secara penuh, malah diambil oleh pemerintahnya sendiri demi kepentingan pribadi. Disamping itu, terdapat pendapat bahwa korupsi yang dilaksanakan oleh pemerintah tersebut dinilai wajar dengan alasan bahwa legislator terkait membutuhkan dana tambahan untuk memenuhi kebutuhannya sehari – hari. Singkatnya, korupsi ini dianggap wajar karena tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, padahal tidak. Masih banyak rakyat yang kehidupannya jauh dari kata tercukupi dibandingkan dengan legislator. Karena, jika dilihat – lihat gaji yang didapatkan oleh para legislator belum lagi ditambah dengan tunjangannya juga masih diatas oleh rakyat yang mungkin sehari – harinya hanya sebagai pekerja ringan.

            Ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya seharusnya perlahan – lahan mulai dikurangi jika tujuan dari pemerintah saat ini adalah menaikkan perekonomian rakyat dan Negara. Karena, jika hal ini terus menerus dilakukan dan tidak ada upaya yang diusahakan dari pihak pemerintah sendiri, naiknya perekonomian akan mustahil tercapai. Dibutuhkan kesadaran juga dari pemerintah sendiri bahwa dalam proses memenuhi kebutuhan hidupnya, korupsi uang yang harusnya diturunkan kepada masyarakat bukan menjadi jawaban atas keresahan dalam kepentingannya itu. Namun, para birokrat seharusnya memperbaiki kinerja dari sistem birokrasi sendiri yang sedang berjalan itu agar bisa menjadi sesuatu yang menghasilkan dalam jangka panjang, yang hasilnya juga dapat dimanfaatkan baik dari pemerintah maupun masyarakat sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun