Mohon tunggu...
Anton News
Anton News Mohon Tunggu... Dosen - Invisible Hand
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menikah Awal Sebuah Rumah Tangga dan Kepemimpinan

25 September 2020   15:35 Diperbarui: 25 September 2020   20:29 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Kebahagiaan saat menikah (Dokpri)

Sebuah rumah tangga diawali oleh pernikahan melalui adanya ijab qabul, dimulai saat itu sesuatu yang awalnya haram bisa menjadi halal. Sebuah pernikahan dapat dilaksanakan jika ada mempelai pria, mempelai wanita, wali dari perempuan dan setidaknya dua orang saksi, maka ijab qabul dalam prosesi pernikahan dapat dilakukan, jika sudah selesai akan menjadi sepasang suami istri yang telah dinyatakan sah secara lahir bathin.

Status keduanya pun tentu berubah yang tadinya hanya sebatas 'kenalan' maka setelah menjadi suami-istri yang sah, jika tadinya 'jomblo' tiba-tiba memiliki istri, sehingga orang tua pun bertambah yang tadinya hanya sepasang, bertambah sepasang lagi, maka jika sudah menikah orangtuanya menjadi 'dua pasang'.

Ketika seorang laki-laki telah memiliki  istri ditambah dengan mertua ditambah lagi dengan memiliki anak, maka seorang suami harus sadar bahwa ia telah menjadi pemimpin dalam rumah tangganya. 

Gambar : Ijab qabul pernikahan (Dokpri)
Gambar : Ijab qabul pernikahan (Dokpri)
Allah SWT berfirman : "laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian dari harta mereka...". (QS. An-Nisa (4): 34)

Tentunya seorang pemimpin akan menjadi pemimpin jika ada yang dipimpinnya, artinya harus memiliki jiwa dan tanggungjawab sehingga dapat mengayomi dan melindungi yang dipimpinnya. Seperti halnya seorang presiden tidak boleh sombong terhadap rakyatnya karena tidak akan jadi seorang presiden jika tidak ada rakyatnya, maka meskipun seseorang telah menjadi sosok pemimpin negara yang kuat tetap saja tidak boleh 'meremehkan' rakyatnya, karena dengan adanya rakyat itulah dapat menjadi seorang presiden atau pemimpin Negara.

Tidaklah layak jika seorang pemimpin merasa jumawa dan sombong dihadapan rakyatnya dengan status kepemimpinannya, misalkan seorang istri memiliki pendidikan sarjana (S.1) sedangkan suaminya hanya seorang yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), dalam sebuah rumah tangga tetap saja kepemimpinan tidak dapat dijungkirbalikan menjadi seorang istri yang memimpin rumah tangga maupun keluarga hanya karena pendidikan sang istri lebih tinggi dari suaminya. Terkecuali dalam kasus lain, seperti misalnya di kantor istrinya menjadi pimpinan atau atasan sedangkan suaminya sebagai staf biasa, maka saat dirumah seorang suami tetaplah mempunyai hak untuk menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.

Penulis : Franz Hendra (Mahasiswa FPIK Universitas Garut)

Editor   : Anton News

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun