Mohon tunggu...
Anton DH Nugrahanto
Anton DH Nugrahanto Mohon Tunggu... Administrasi - "Untung Ada Saya"

Sukarnois

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jawa dan Polemik Pengakuan Anies

18 Juli 2020   11:10 Diperbarui: 18 Juli 2020   14:17 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.okezone.com

Jawa itu bukan sekedar suku. Dalam terminologi yang lebih luas "Jawa" itu sebenarnya adalah tingkatan spiritualitas, tingkatan nilai seorang manusia. Seseorang bisa saja keturunan dari bangsawan  Mataram, tapi belum tentu "Njawani". 

"Njawani" adalah semacam kesadaran seorang manusia pada dirinya, seorang manusia pada alam, seorang manusia pada Tuhannya dalam jalan spiritualitas yang penuh pengalaman unik.

 "Njawani" adalah tingkat tertinggi kesadaran manusia akan kehalusan budi pekerti, akan kehalusan batin sehingga bisa membaca pralambang, tanda tanda kehidupan dalam setiap momen baik dinamika alam maupun sikap manusia. 

Jawa bisa diartikan sebuah "bangsa besar" sebuah kesatuan kesadaran yang menjiwai hal hal besar. Dalam sejarah politik 'Jawa' tidak hanya 'pulau' tapi kesadaran geopolitik-nya besar 'Nusantara', obsesi kesatuan Nusantara sebagai sebuah peradaban besar itu sudah hidup ribuan tahun dalam lingkar lingkar politik bukan saja di Pulau Jawa tapi Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan,  Pulau Sulawesi sampai di Thailand Selatan. Saling pengaruh pola pikir, pola budaya sampai tata krama pergaulan. 

Jawa sebagai narasi "suku", sebenarnya lebih pada permainan politik kolonial untuk menghancurkan dominasi kekuatan Mataram yang selama lebih 300 tahun menguasai hegemoni kebudayaan Jawa. 

Di Pasundan sendiri, hegemoni Mataram sangat berpengaruh dalam pertumbuhan budaya Menak Sunda yang memiliki kehalusan bahasa dan tingkatan bahasa yang sesungguhnya merupakan 'bahasa politik' dalam konstelasi kekuasaan di Pulau Jawa. 

Padahal bila ditelusuri dari sejarah, bahasa Jawa di masa masa Majapahit lebih mirip bahasa 'ngapak' seperti orang Banyumasan. Bahasa 'ngapak' lebih pada pragmatisme, lingua franca yang percaya diri dan menjadi bahasa maritim penuh kemenangan. 

Namun ketika Panembahan Senopati memutuskan mundur ke selatan dan menjaga jarak dengan Pesisir yang sifatnya lebih internasional, bahasa Jawa dibawa ke dalam ruang mikroskopik manusia. 

Ruang kebatinan yang kadang 'ambigu' inilah kenapa bahasa Jawa-Mataraman lebih punya sifat mengambang dan paling tepat bila digunakan sebagai 'bahasa politik' ketimbang 'bahasa pergaulan'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun