Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dibalik Penderitaan, Ada Keindahan !?

11 Juni 2015   09:42 Diperbarui: 12 November 2017   20:43 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Malam ini aku selesai memberikan materi kuliah tentang ‘Manusia dan Keindahan.’ Pada saat aku memaparkan filosofi dan aliran-aliran tentang keindahan, tiba-tiba secara tak sengaja aku menjadi tercerahkan oleh apa yang kukatakan sendiri. Boleh jadi apa yang kusampaikan kepada mahasiswa tidak persis sama dengan apa yang ada di buku-buku teks Ilmu Budaya Dasar. Namun, esensi yang terkandung di balik materi kuliah tentang ‘keindahan’ ini menjadi sebuah inspirasi, sekaligus secara misterius telah membuka relung-relung hati dan pikiranku untuk menggali lebih dalam, apa makna keindahan sesungguhnya bagiku, manusia apalah .. apalah gituuu !?.

Secara filosofis batasan tentang ‘keindahan’ itu sendiri sebenarnya sulit untuk bisa dirumuskan secara utuh. Karena boleh jadi keindahan itu hanya bisa dirasakan oleh bathinku yang paling dalam. Meskipun istilah ‘keindahan’ itu bisa saja berarti estetika, to sense (memberi arti), atau to perceive (merasa), tapi istilah-istilah tersebut tidak mampu mewakili realitas ‘keindahan’ yang sesungguhnya secara utuh. Oleh karena itu, ketika ‘keindahan’ itu berasal dari hati yang damai, maka ‘keindahan’ itu mulai bersifat universal dan unik. Meski keindahan selalu didasarkan kepada sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal (obyek) yang memberi kepuasan bagi pencerapnya.

Keindahan yang bersumber dari kedamaian hati, akan memberikan makna yang begitu universal dan dalam, karena apapun yang dirasakan oleh hati yang damai, akan menampilkan wujud yang indah, apapun itu. Kesedihan, penderitaan, kecemasan bahkan kegalauan akan terasa indah jika didasari oleh hati yang damai. Banyak karya seni lahir dari perasaan tersakiti, banyak tulisan lahir dari perasaan galau yang begitu dalam, dan bahkan banyak banyak karya musik tercipta dari kegelisahan manusia yang menghujam.

Untuk menemukan keindahan, manusia tidak perlu jauh-jauh mencarinya, jika sumbernya adalah kedamaian hati. Karena keindahan bisa kurasakan ada dimana-mana, disekitarku saat ini. Keindahan akan lahir dalam hidup kita melalui proses belajar, dengan cara merasakan, mengalami, bahkan mempersepsikannya. Lebih lanjut, bahwa ‘Keindahan’ yang kuperoleh juga tergantung pada kepekaanku terhadap obyek yang kukagumi, dan aku memiliki kepuasan terhadap obyek yang kukagumi itu. Sehingga, ‘keindahan’ yang kumiliki ini pada hakekatnya mampu melampui penderitaan dan rasa senang yang hadir dalam setiap jengkal kehidupanku. Argumen yang bisa kuperoleh dari pernyataan ini adalah, bahwa masa laluku yang indah untuk dikenang ternyata bukan masa lalu yang menyenangkan, tapi justru masa lalu ketika aku berada pada situasi menderita.

Situasi yang membuatku sulit, kecewa, sedih dan menderita inilah yang lebih banyak memberi makna keindahan di masa depan. Sehingga, boleh jadi aku tak perlu takut dan trauma dengan peristiwa-peristiwa atau kondisi-kondisi yang membuatku galau, sedih bahkan yang membuat kita menderita. Situasi dan kondisi hidup yang penuh dengan penderitaan, bisa kutemukan pada saat harapanku tidak sesuai dengan kenyataan, merasa tersakiti, merasa tertindas dan terhakimi. Namun demikian, secara filosofis ada yang berpendapat bahwa penderitaan haruslah ditempatkan di dalam keseluruhan realitas. Dengan demikian, maka akan kelihatan, bahwa penderitaan memang perlu ada, antara lain demi kebaikan yang lebih besar untuk kehidupan manusia. Ibaratnya sebuah lukisan, keindahan justru didapatkan jika kita memasukkan warna gelap ke dalam lukisan itu. Filsuf Perancis Rene Descartes pernah berkata, “… sesuatu itu bisa tampak sangat tidak sempurna bila berdiri sendiri. Tetapi hal yang sama akan kelihatan sangat sempurna bila dilihat sebagai bagian dari alam semesta …”

Selanjutnya, seorang filsuf kontemporer terkemuka asal Slovenia, Slavoj Zizek, pernah menyatakan, bahwa hidup berasal dari katastrofi, atau bencana besar. Alam semesta bermula dari ledakan besar. Dan, bahkan, aku lahir ke dunia melalui penderitaan seorang ibu. Oleh karena itu, aku perlu terus belajar memahami kekecewaan dan kemenderitaan hidup sebagai bentuk kelahiran dari “yang lain”. Bahkan segala sesuatu yang di sekitarku sekarang ini bermula dari sebuah bencana raksasa yang menimpa penguasa dunia sebelumnya, yakni dinosaurus. Maka kesedihanku, sakit hatiku, kekecewaanku dan kemenderitaanku lainnya bukanlah bagian dari kehidupan, melainkan justru kehidupan itu sendiri.

Aku sering kali terbentur pada situasi-situasi sulit dalam hidup. Situasi sulit ini menurut Karl Jasper, seorang filsuf Jerman, adalah situasi batas, termasuk di dalamnya adalah penderitaan, kematian, rasa bersalah, ketergantungan pada nasib, dan perjuangan di tengah bencana. Situasi batas ini membuatku sadar, bahwa batas-batas penderitaanku itu merupakan batas keindahan yang bisa kurasakan dikemudian hari. Mungkin, aku sudah semestinya bisa mensyukuri bahwa batas-batas penderitaanku, merupakan batas-batas keindahan yang dihadiahkan Tuhan kepadaku. Dalam kalimat lain, sedalam apa penderitaanku yang bisa kujalani saat ini dengan ikhlas, maka sedalam itulah keindahan yang bisa kuperoleh di kemudian hari.

Mungkin Karl Jasper ingin mengajakku menjalani semua penderitaanku saat ini, dengan lapang dada. Ketika aku dirundung kegalauan yang dalam dan penderitaan, maka pintu bathinku akan selalu terbuka pada kekuatan yang tak terbatas. Pada saat inilah aku bisa menyadari, betapa aku hanyalah manusia apalah .. apalah gitu !?, alias bukan apa-apa. Ternyata, penderitaanku adalah pintu pencerahan dan penemuan kesejatian diriku yang sesungguhnya. Dan, aku tetap yakin, kelak dikemudian hari, situasi penderitaan ini akan berubah menjadi realitas keindahan yang sejati, bukannya yang kupersepsi !?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 11 Juni 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun