Mohon tunggu...
Anselmus Puasa
Anselmus Puasa Mohon Tunggu... Dosen - nama panggilan Amos

Amos si penggemar film Kung Fu China

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sumpah Menjadi Sampah?

28 Oktober 2020   09:49 Diperbarui: 28 Oktober 2020   10:06 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Generasi 28.

Kita harus mengacungkan jempol buat generasi 28 dalam hal wawasan mereka yang begitu hebat, luas, dalam dan terbuka untuk saling, mengakui dan menerima perbedaan dalam kepelbagaian, yang diikrarkan lewat SUMPAH PEMUDA pada tanggal 28 Oktober 1928. 

Untuk lebih jelas, kita mencoba memahami dan memaknai ulang kira-kira apakah sumpah itu masih menjadi sumpah sacral bagi generasi sekarang ini ataukah jangan-jangan sumpah itu sudah kehilangan kesakralannya lalu menjadi sampah yang berbau busuk, yang harus dibuang dan lalu dibakar.

 Satu Tanah Air:  bagi generasi 28 adalah suatu bentuk kesadarana baru bahwa tanah dan air yang mereka tempati adalah tanah yang subur dengan air yang melimpah. Tanah air yang subur ini merupakan milik bersama yang harus dipelihara dan dimanfaatkan sebagai  sumber kehidupan bersama, dan tentunya cukup untuk memenuhi kesejahteraan seluruh rakyat/masyarakat Indonesia. 

Oleh karen itu mereka semua secara bersama-sama berjuang, untuk mengusir para penjajah yang serakah yang mencuri rempah-rempah dan hanya mau mengeruk kekayaan tanah air ini untuk diri mereka sendiri. Makanya tidak heran, bila tanah air kita yang kaya ini disebut sebagai "ratna mutu manikam" yakni negeri yang banyak permatanya.  

Satu Tanah Air: bagi generasi sekarang adalah tanah air yang telah kehilangan permatanya. Sebab tanah air yang satu ini telah dicuri kekayaannya (ilegal loging, ilegal fishing) oleh segelintir anak bangsa yang bekerja sama dengan para cukong dari luar. Sehingga tanah air kita tidak cukup lagi menghidupi anak-anak bangsa, makanya mereka harus menjadi kuli di negeri orang. Kasihan tanah air kita telah menjadi tandus, karena hutannya dibabat sampai rata tanpa ampun, dan isi perutnya (emas, nikel, biji besi, pasir, dll) dikeruk sampai habis.

Makanya jangan heran, kalau musim kemarau, petani kita gagal panen, karena kekeringan. Sedangkan dimusim hujan, tanah kita kelebihan air, makanya banjir di mana-mana. Anehnya, walaupun daerah kita juga berlimpah air, tetapi kita juga sudah mulai kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Dan yang lebih parah lagi, sekalipun kita dikelilingi oleh laut, karena kita adalah negara kepulauan tapi garamnya saja harus impor. Menyedihkan !

Satu Bangsa: satu bangsa yang dicita-citakan oleh generasi 28 adalah suatu bangsa yang beradab, berbudaya dan bermartabat. Hal itu sesuai dengan apa kata orang, bahwa kita adalah bangsa yang murah senyum, ramah-tamah, punya sopan-santun yang tinggi, dan dikenal dengan kesetiakawanan sosialnya (gotong royong). 

Akan tetapi sekarang kita justru menjadi satu bangsa yang beringas, ganas dan kasar. Orang yang berbeda agama, beda suku, beda pendapat, beda partai, beda pilihan, dilihat sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Kita menjadi satu bangsa yang suka menyalahkan orang lain atas semua peristiwa yang menimpa bangsa kita. Sebagaimana dikatakan oleh William Adam Browns, "bahwa manusia modern telah menemukan teknik yang paling canggih untuk menghibur diri.Yakni dengan melemparkan semua kesalahan yang ada di dunia ini kepada orang lain: kaum imperialis yang jahat, pengusaha konglomerat multinasional yang tamak, lapisan birokrasi yang korup".

Satu Bangsa bagi generasi sekarang, tidak lagi menjadi satu bangsa yang beradab dan berbudaya. Tetapi justru kita telah menjadi bangsa yang biadab dan berbuaya, karena sampai sekarang ini kita tetapi menjadi peringkat terbaik dalam soal korupsi. Dengan kata lain, kita adalah bangsa yang terkorup di dunia. Tidak hanya itu, bangsa kita juga sudah menyandang predikat sebagai sarang terorisme. Kata Paulus Mujiran (2004), republik ini adalah Republik Para Maling. Sebab memang di sini bersarangnya para maling atau mafia (mafia anggaran, mafia hukum, mafia pemilu, mafia lahan, mafia gaji fiktif dan mafia-mafia lainnya).

Satu Bahasa: bagi generasi 28 adalah sama-sama mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia. Pengakuan ini menunjukan bahwa mereka menjunjung tinggi bahasa solidaritas atau kesetiakawanan sosial, bahasa kebersamaan dan kerjasama, bahasa gotong royong. Bukannya mereka tidak menyadari adanya perbedaan, suku, golongan agama, daerah, tetapi semua itu diletakan di bawah satu  bahasa yang bernama Indonesia. Satu bahasa bagi generasi 28 adalah bahasa kejujuran dan ketulusan, untuk hidup bersama. Satu bahasa bagi generasi 28, adalah bahasa kecintaan, yakni cinta sesama anak bangsa, cinta bahasa Indonesia dan cinta tanah air Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun