Mohon tunggu...
Annissa RahmayantiC
Annissa RahmayantiC Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Mahasiswa

Senang membaca, menulis dan mengkritik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengubah Stigma Masyarakat untuk Meningkatkan Regenerasi Petani Indonesia

22 Mei 2019   00:22 Diperbarui: 22 Mei 2019   01:07 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Julukan negara agraris bukanlah menjadi suatu julukan yang awam ditelinga bangsa ini, sejak kita duduk di bangku SD kita sudah dikenalkan dengan julukan ini. Secara eksplisit negara agararis berarti negara yang penduduknya mayoritas bermata pencarian pada sektor pertanian. Tetapi berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah lahan baku sawah terus menurun dari 7,75 juta hektare pada 2017 menjadi 7,1 juta hektare pada 2018. Hal ini juga berpengaruh terhadap jumlah pekerja di sektor pertanian yakni pada tahun 2017 berjumlah 35,9 juta orang di tahun 2018 menurun menjadi 35,7 juta orang.

Selain itu, para pekerja yang bekerja di sektor pertanian pun 61,15% berusia diatas 45 tahun, 25,31% berusia 35-45 tahun, dan 9,5% berusia kurang dari 35 tahun. Hal ini jelas membuktikan bahwa para generasi milenial sama sekali tidak tertarik terhadap sektor pertanian padahal jumlah orang yang termasuk golongan milenial adalah 80 juta orang, setara dengan 1/3 penduduk Indonesia.

Lebih miris lagi, anak-anak zaman sekarang lebih tertarik untuk menjadi youtuber dibandingkan menjadi petani, karena dianggap bisa lebih mudah menghasilkan pendapataan dan akan mudah dikenali banyak orang sehingga banyak mendapatkan simpati dari masyarakat serta bekerjanya pun tidak terlalu keras. Sedangkan bekerja di sektor pertanian masih dianggap belum memumpuni untuk memenuhi kebutuhan hidup di zaman sekarang dan pekerjaannya yang memerlukan tenaga yang extra.

 Tetapi sangat mengherankan ketika negri yang dikenal oleh banyak negara lain karena sektor pertaniannya yang berkualitas, tetapi lambat laun justru sektor pertanianlah yang pertama kali mulai ditinggalkan sehingga mengalami krisis regenerasi. Lalu langkah seperti apa yang harus dilakukan untuk merenggut simpati para generasi milenial agar berkontribusi terhadap sektor pertanian ?

  • Menghilangkan stigma yang berkembang di masyarakat. Ketika seorang anak diterima di  fakultas kedokteran maka semua orang akan bangga dan memujinya tetapi ketika diterima di fakultas pertanian tidak selamanya orang-orang memujinya dan bangga kepadanya bahkan sebagian orang malah menganggap anak tersebut masa depan nya akan suram.
  • Stigmatisasi masyarakat seperti inilah yang harus dihilangkan, yang menganggap bahwa pertanian hanya berujung kepada mencangkul saja. Sehinga berkesan sektor pertanian itu "Jorok dan Miskin". Seharusnya pemerintah dapat mengeluarkan suatu kebijakan untuk menghilangkan stigmatisasi tersebut seperti bekerja sama dengan dengan departemen pendidikan dan pertanian untuk mengenalkan secara langsung sektor pertanian ke siswa di sekolah. Sehingga siswa akan secara langsung melihat hal yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut dalam sektor pertanian dan lambat laun stigmatisasi tersebut bisa memudar.
  • Untuk memikat para generasi milenial untuk terjun ke sektor pertanian bukan hanya diiming-imingi teknologi saja, tetapi pemerintah harus memacu para generasi Milenial untuk mengembangkan teknologi di sektor pertanian. Dimulai dengan memperkenalkan peralatan canggih seperti  ASA-Lift, Agrobot, dan Koppert Machine. Dengan melihat produk-produk seperti itu maka akan menjadi sorotan para generasi milenial karena merasa tertantang sehingga mencoba mencari inovasi baru untuk memajukan sektor pertanian di Indonesia.

Sesungguhnya banyak sekali inovasi dalam teknologi pertanian yang dibutuhkan di Indonesia, contohnya kini lahan pertanian di Indonesia semkain menurun disinilah peran para petani muda harus mampu memanfaatkan lahan yang ada untuk terus memproduksi pangan dengan banyak dan berkualitas, dan hal ini tentunya bisa dibantu dengan bantuan teknologi. Seperti yang inovasi yang dilakukan perusahaan milik Sanan Sino-Science yang terletak di Anxi, Provinsi Fujian, China. Perusahaan tersebut melakukan produski pertanian di dalam ruangan yang disebut Sistem Smart Farm, yang ternyata efektif dijalankan.

  • Diperlukannya starup yang bergerak di sektor pertanian. Tanihub yang merupakan salah satu starup yang bergerak di bidang pertanian yang berfokus pada pendistribusian penjualan hasil pangan tersebut. Starup ini tentunya sangat membantu untuk menyejahterakan petani, tapi starup ini perlu lagi dikembangkan secara meluas agar bisa terus mengembangkan inovasi nya di bidang lainnya sehingga mampu 'dilirik' oleh calon petani muda.

Jika sudah ada yang semangat yang muncul dari para milenial untuk terjun di sektor pertanian maka pemerintah harus menyediakan fasilitas yang lebih baik untuk mendukung seluruh program yang bertujuan untuk memajukan negri. Salah satunya dengan menyediakan fasilitas pendidikan karena berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat pendidikan petani yakni belum pernah sekolah 766.954 orang atau sekitar 9,65%, tidak sekolah. Yang belum lulus SD 10.358.754 orang atau 26,54%

Sementara untuk lulusan SD 15.023.269 orang setara 38,49%, lulusan SLTP 6.330.800 orang setara 16,22%. Lulusan SLTA 332.106 orang atau 8,54% dan lulusan Perguruan Tinggi dan Diploma dan Sarjana 223.809 orang setara 0,57%

Melihat kondisi tersebut, jelas bahwa pendidikan petani masih dibawah rata-rata. Maka pemerintah seharusnya membuat sebuah program untuk meningkatkan kualitas pendidikan petani di Indonesia, yakni dengan diadakannya program beasiswa atau program tukar pelajar dan program kegiatan belajar minggguan. Yang dimana nantinya para calon petani muda atau petani yang sudah memasuki usia non-produktif pun masih bisa ikut serta belajar cara mengelola pertanian yang berdasarkan ilmu pengetahuan bukan hanya melalui pengalaman.

Mengenalkan sosok baru di wajah pertanian Indonesia. Selain dengan teknologi generasi milenial pula sangat erat kaitannya dengan style fashion kekininan seperti sneakers, jaket, t-shirt, dan lain-lain. Untuk menggaet generasi milenial diperlukan pula sosok yang ikut serta dalam trend fashion terkini, setiap pergi atau pulang ke lahan para petani harus menggunakan pakaian formal atau trendy, hal ini mampu menguatkan image betapa seriusnya pekerjaan bertani,  sehingga image petani disini bukan lagi jorok dan menyangkul dengan baju kotor, tetapi rapih, bersih dan elegan.

Oleh karena itu sudah seharusnya kita selaku generasi muda menghilangkan segala stigma yang berkembang di masyarakat dan memulai untuk terjun ke sektor pertanian. Kita harus menjadi ssosok yang mampu memajukan pertanian negri ini, sehingga di masa depan akan banyak anak-anak yang bercita-cita menjadi petani tidak hanya menjadi youtuber lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun