Semenjak WFH (Work From Home) Bulan Maret lalu, sontak ritme kehidupan dan pola berbisnis Saya mulai berubah. Perlu waktu hampir dua bulan untuk setting ulang kembali agar pelan-pelan menjadi new normal.Â
Dan semuanya cukup menyita perhatian dan membutuhkan energi yang besar. Beruntung Saya menemukan tempat untuk me-recharge energi Saya agar tetap 'On Fire' dan menjaga pikiran Saya agar 'Tetap Waras' sehingga 'Bangkit setelah Jatuh' menjadi hal yang lebih mudah untuk dilakukan.
Saya menemukan ada komunitas positif yang dibangun oleh Rumah Akselerasi Bisnis TechnosNet Science Techno Park IPB University berkolaborasi dengan perusahaan Ucoach Djivasrana Grahasada, mengadakan webinar Business Hack 2020 setiap hari Jum'at, hingga akhir Desember 2020.
Ada satu seri Webinar Business Hack yang cukup berkesan buat Saya sebab pihak penyelenggara mampu menghadirkan salah satu penulis buku favorit Saya ikut menjadi salah satu narasumber atau pemateri di webinar atau seminar online Business Hack, yaitu Andrew Matthews. Beliau adalah penulis buku Being Happy dan Happiness in Hard Times (Bahagia di Masa Sulit), dimana buku tersebut bisa dibilang menjadi sebuah anugerah buat Saya (ditambah Buku Happiness Inside karya Gobind Vashdev), karena mampu menemani masa kelam nan suram yang Saya sebut 'The Dark Age' itu.
Saya menyebutnya The Dark Age, sebab itu fase titik nadir terendah dalam kehidupan Saya, tepatnya di tahun 2014 hingga awal 2015, tahun dimana semua yang Saya bangun dari kecil hingga menjadi besar, dari juta hingga menjadi milyar 'hanya' dalam waktu 3 tahun, disemua titik terkena ombaknya dan hancur bak istana pasir.
Disaat melewati masa kelam itu, Saya ingat betul ada sahabat karib tukar pikiran Saya, Indra Thamrin partner di bisnis @yourtea_id dan @obatinsomniaalami, dimana Ia meminjamkan buku berjudul "Bahagia di Masa Suram" dari Andrew Matthews kepada Saya.
Jika dianalogikan, buku itu menjadi anugerah buat Saya karena mampu menjadi "teman tandem" dalam mensintesa pola berpikir Saya. Ia juga mampu menjadi "teman diskusi" Saya dalam membangun mindset menerima, memaafkan, dan bersyukur. Serta bertansformasi menjadi "bahu untuk bersandar dan menyeka air mata Saya sejenak", menjadi katarsis diri, untuk kemudian membuat lega dan lapang hati Saya lalu kemudian perlahan tapi pasti, bangkit sekali lagi lebih banyak dari jatuh sambil tetap merasakan 'aura' kebahagiaan ketika melewati proses itu.
Buku tersebut menjadi dasar yang pada akhirnya membuat Saya lebih mudah dalam merespons keadaan. Termasuk didalamnya lebih mudah ketika melewati fase gagal nikah dan fase melewati masa pandemi Covid 19 ini.
Di dalam webinar tersebut, pemaparan dimulai dari cerita bahwa di usia 25 tahun, beliau menemukan penemuan yang mengejutkan bahwa orang yang dianggapnya paling bahagia ternyata memiliki problem yang lebih besar dari dirinya.Â
Dari situ ia menyadari bahwa "we can't avoid pain; however, we can choose to be miserable or not". Rasa sakit (pain) adalah fakta yang tak dapat dielakkan (inevitable).Â
Namun merasa nelongso, merasa sengsara, merasa jadi korban, merasakan penderitaan (misery) adalah pilihan kita (choice). Apakah kita menjadi orang yang berfokus pada apa yang hilang atau keadaan yang kurang dan juga hal yang salah dari orang lain.Â