Mohon tunggu...
Annisa Arfah Hakiki
Annisa Arfah Hakiki Mohon Tunggu... -

Majoring Cultural Anthropology in Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hedonisme dan Konsumtif: Representasi Dunia Pendidikan Indonesia dalam Kebudayaan Populer

11 Desember 2018   16:40 Diperbarui: 11 Desember 2018   16:42 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kebudayaan populer sering disebut sebagai lawan dari kebudayaan adi luhung yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat. Biasanya merupakan sebuah fenomena budaya dimana banyak orang yang mengikutinya. Hal ini biasa disebut sebagai tren. Contoh budaya populer berasal dari beragam genre, termasuk musik populer, media cetak, budaya maya, olahraga, hiburan, hiburan, mode, iklan, dan televisi. (Dalaney, 2015)

 Dewasa ini, sinetron bertemakan remaja semakin marak di televisi. Hal ini secara tidak langsung telah memperburuk citra dunia pendidikan di Indonesia. Sinetron yang termasuk dalam kebudayaann popular umumnya disukai oleh para remaja tanggung sampai ibu rumah tangga. Sinetron yang memiliki popularitas besar di kalangan remaja tersebut seharusnya  dapat digunakan sebagai media edukasi. Namun, kenyataannya sekarang ini banyak sinetron yang justru menyesatkan bagi para penontonnya.

Hal tersebut ditunjukkan dengan bagaimana para pelaku dalam sinetron reamja tersebut ditampilkan dalam televisi. Para remaja yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan Sekolah menengah atas (SMA) tersebut digambarkan memiliki kehidupan yang serba mewah, gaya hidup yang sangat modern dengan gadget keluaran terbaru dan berbagai kenakalan yang mereka lakukan.

Tokoh-tokoh dalam sinetron biasanya akan selalu ditampilkan dengan semenarik mungkin. Hal ini juga meliputi gaya hidup mereka yang terkesan kurang sesuai dengan kehidupan sebagian besar para siswa di Indonesia. Gaya hidup yang demikian semakin diperparah dengan penggambaran media mengenai kehidupan para siswa di Indonesia. Televisi sebagai media dengan jaringan yang luas dianggap sebagai sumber masalah bagi gaya hidup remaja yang semakin mengarah kepada hedonisme.

Oleh karena citra yang ditampilkan dalam televisi tersebut, para siswa menjadi terpengaruh dan mencoba untuk mengikuti gaya hidup seperti para siswa dalam sinetron. Para penonton televisi terutama yang masih berusia remaja memiliki kecenderungan untuk lebih mudah meniru hal-hal yang mereka tonton dan menyebarkannya kepada teman-teman sebayanya. Penggambaran yang dilakukan oleh televisi dianggap sebagai sebuah kebenaran yang patut untuk diikuti. (Parwadi, 2005)

Dimulai dari kendaraan yang dibawa ke sekolah adalah mobil. Fenomena tersebut memang kerap terjadi di Indonesia, terutama di sekolah-sekolah elit atau di kota-kota besar. Meskipun telah ada larangan bagi para siswa untuk membawa kendaraan pribadi ke sekolah, namun hal tersebut sepertinya tidak bekerja dengan baik. Tidak hanya menyebabkan jalanan yang semakin macet, tetapi juga polusi karena emisi karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.

Fenomena lain yang terjadi terkait penampilan kendaraan di sinetron adalah banyaknya anak-anak yang menuntut kepada orang tua mereka untuk membelikan kendaraan mewah. Hal terjadi baik di lingkungan desa atau kota. Namun, yang menjadi perhatian adalah para remaja yang tinggal di daerah pedesaan. Seperti contoh anak-anak usia sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang datang ke sekolah dengan membawa motor ninja. Dengan keadaan ekonomi yang relatif menengah ke bawah, tuntutan untuk memenuhi keinginan anak akan kendaraan mewah dirasa berat. Tak jarang, orangtua pun harus berkorban lebih demi memenuhi keinginan anaknya.

Hal lain yang patut menjadi sorotan adalah penggunaan gadget yang semakin menjamur di kalangan pelajar. Penggunaan gadget memang dirasa dapat membantu siswa untuk menyelesaikan tugasnya dengan lebih cepat. Namun, dibalik hal tersebut sebenarnya tersimpan bahaya yang diam-diam sedang menggerogoti tubuh para pelajar. Kebiasaan menggunakan gadget secara tidak langsung membuat siswa malas karena semuanya bisa dikerjakan secara instan. Munculnya generasi pemalas mungkin saja menjadi bahaya laten bagi regenerasi bangsa. Ketika generasi muda maka kemungkinan untuk memenuhi lapangan pekerjaan akan kurang. Oleh karena itu penggunaan gadget yang berlebihan sebaiknya tidak dilakukan. Hidup di dunia yang semakin canggih bukan berarti harus menjadikan para pengguna kecanduan hingga malas melakukan pekerjaan.

Penggunaan gadegt juga dapat menjauhkan anak dari dunia sosialnya yang nyata. Anak yang terpaku pada gadget cenderung mengaabikan interaksi secara langsung da lebih memilih berkomunikasi via interet. Hal tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam bersosialisasi. Tak hanya itu, softskill lain seperti kemampuan bekerjasama, beradaptasi dengan lingkungan dan percaya diri juga kurang berkembang.

Produk-produk kebudayaan populer seperti sinetron yang banyak menjadi konsumsi remaja seharusnya dapat menyampaikan nilai-nilai moral yang baik terhadap pemirsanya. Dimulai dengan menunjukkan citra dunia pendidikan yang syarat akan ilmu pengetahuan dan etika. Bukan hanya menyajikan tontonan hiburan yang dipenuhi gaya hidup glamor. Pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia sudah seharusnya melakukan evaluasi terhadap dampak yang mungkin timbul dari kebiasaan menonton sinetron yang dipenuhi dengan gaya  hidup hedonisme. 

Karena sejauh ini, belum ada kajian maupun peraturan yang membatasi pengaruh adegan sinetron remaja dan pengaruhnya terhadap gaya hidup remaja. Perlu ada tindakan langsung terhadap tayangan yang dapat meningkatkan perilaku negatif. Seperti membatasi produksi sinetron-sinetron yang kurang mendidik dan menggantinya dengan program lain yang lebih bermanfaat. Peranan orang tua juga turut membantu dalam pencegahan gaya hidup yang konsumtif. Sebagai pihak yang paling dekat dengan remaja, orang tua diharapkan dapat mengawasi tontonan yang sering dilihat oleh anak-anak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun