Mohon tunggu...
Annisa Firdaus
Annisa Firdaus Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Pembinaan Anak berkebutuhan khusus

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Wajah Pembinaan ABK di Institusi Pendidikan

10 April 2021   11:30 Diperbarui: 10 April 2021   11:41 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS


Anak berkebutuhan khusus (ABK) merujuk pada anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar yang membuatnya lebih sulit belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan kebanyakan anak seusianya. Anak berkebutuhan khusus (ABK) dibandingkan dengan anak normal pada umumnya mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.
Sejalan dengan perbaikan istem perundangan di RI yaitu UU RI no.2 tahun 1989 dan PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
1. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.
2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.
3. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.

Sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus ada beberapa macam, ada Sekolah Luar Biasa (SLB), ada Sekolah Dasar Luar Biasa ada Sekolah Terpadu atau Mainstreaming dan Sekolah Inklusi. SLB adalah sekolah yang dirancang khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus daru satu jenis kelainan. Di Indonesia kita kenal ada SLB bagian A khusus untuk anak Tunanetra, SLB bagian B khusus anak Tunarungu, SLB C khusus anak Tunagrahita dan sebagainya. Dalam satu unit SLB biasanya terdapat berbagai jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP hingga lanjutan. SDLB berbeda dengan SLB, SDLB adalah bentuk persekolahan (Layanan Pendidikan) bagi anak berkebutuhan khusus hanya untuk jejang pendidikan SD. Selain itu siswa SDLB tidak hanya terdiri dari satu jenis dari satu jenis kelainan saja, tetapi bisa dari berbagai jenis kelainan, misalkan dalam satu unit SDLB dapat menerima sisawa Tunanetra, Tunarungu, Tunadaksa, Tunanetra, bahkan siswa Autis. Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.

Perkembangnya pendidikan inklusif di Indonesia, juga memberikan kontribusi terhadap Angka Partisipasi Pendidikan bagi ABK. Menurut laporan Wamendikbud, 2012 disebutkan bahwa jumlah ABK yang mendapatkan akses pendidikan baru menjangkau sekitar 35%, sisanya sekitar 65% belum mendapatkan akses pendidikan (Wamendikbud, 2012). Dari jumlah tersebut, sekitar 88% bersekolah di SLB, dan sisanya sekitar 12% bersekolah di sekolah reguler secara inklusif (Yusuf, 2014). Jika pendidikan inklusif dikembangkan lebih luas lagi, maka kontribusi dalam hal pemerataan dan akses pendidikan bagi ABK akan semakin tinggi.

Penelitian Sunardi, dkk (2011) menemukan bahwa pendidikan inklusif dalam praktik di Indonesia, belum seperti yang diharapkan. Di antaranya adalah kesiapan SDM terutama guru reguler, keterbatasan Guru Pendidikan Khusus (GPK), dan keterbatasan sarana prasarana. Keberpihakan memang diperlukan agar mereka ABK juga dapat berprestasi seperti anak-anak pada umumnya.

Maka gagasan yang dapat saya berikan atas permasalahan diatas yaitu meningkatkan kesadaran dari berbagai pihak yang kurang peduli akan pentingnya Pendidikan inklusif untuk ABK dengan memulai dengan usaha yang sederhana sesuai dengan bidang tugas, tanggung jawab dan kewenangan masing -- masing. Bagi Pemerintah dapat mengambil kebijakan sebagai pendorong untuk mengimplementasikan kebijakan inklusif Perda/Pergub/Perbub/Perwali dan sejenisnya yang sudah ada harus dikaji Kembali untuk mengetahui perkembangannya. Serta dapat membangun sekolah luar biasa di daerah -- daerah yang masih sangat minim Pendidikan inklusif. Tidak kalah pentingnya pemberdayaan masyarakat dan organisasi sosial terkait, perlu lebih difahamkan dan ditingkatkan agar memiliki kepedulian terhadap pendidikan para difabel. Bagi Bidang Pendidikan, perlunya melakukan identifikasi terhadap kegiatan Pendidikan inklusif yang masih menghadapi kendala di lapangan. Penyediaan fasilitas khusus dan Guru Pendidikan Khusus (GPK) di sekolah inklusif adalah dua hal mendasar yang harus menjadi prioritas (Karsidi, 2009).  Penyiapan sistem dukungan bagi sekolah inklusi, seperti Pusat Sumber dari SLB yang kelihatannya belum optimal, perlu segera dicari formula yang lebih sesuai dengan kebutuhan lapangan. Bagi Kepala sekolah dan Guru diharapkan untuk menerapkan prinsip -- prinsip Pendidikan inklusif di sekolah. Guru sekolah regular perlu menambah wawasan dan keterampilan dalam pembelajaran bagi ABK di kelas inklusif. Pemilihan strategi pembelajaran, modifikasi kurikulum, sistem penilaian, pemilihan dan penggunaan media belajar yang sesuai dengan kebutuhan ABK, perlu dilatihkan kepada setiap guru di sekolah regular.

Terimakasih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun