Mohon tunggu...
Annisa Devina Wijaya
Annisa Devina Wijaya Mohon Tunggu... Pelajar

SMA Labschool Cibubur

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Chatbot AI: Teman Setia atau Bahaya yang Tersembunyi?

5 Oktober 2025   19:13 Diperbarui: 5 Oktober 2025   19:13 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bermain gadget di tempat yang gelap (Sumber: Freepik).

Maraknya perkembangan teknologi membuat Artificial Intelligence (AI) tidak dapat lepas dari kehidupan sehari-hari. Hari ini dunia sedang dihadapkan sebuah teknologi baru, sebuah bentuk dari AI yang berbentuk ChatBot. Bukan hanya membantu tugas kita sehari-hari, namun ChatBot AI sekarang dipakai untuk menjadi 'teman curhat'. Banyak orang yang merasa terbantu karena ChatBot AI selalu ada kapanpun dan dimanapun. Teknologi ini dirancang agar pengguna merasa berinteraksi dengan selayaknya manusia yang merespon. Namun, dengan segala kelebihan yang ditawarkan, timbul pertanyaan. Apakah ChatBot AI dapat sepenuhnya menggantikan peran manusia atau hanya meniru respon empati dari manusia?

Menurut laporan dari lembaga nirlaba Common Sense Media mengungkapkan setidaknya 9% dari remaja 13-17 tahun di Amerika menganggap ChatBot AI sebagai teman dekat dan sahabat. Survei menunjukkan rata-rata pengguna merasa puas dengan teknologi ini karena menawarkan apa yang mereka butuhkan yaitu validasi emosi. Pengguna merasa bahwa ChatBot AI dapat mendengar tanpa merasa dihakimi. Namun, harus kita garis bawahi, ChatBot AI merupakan produk AI yang dirancang untuk memberikan respon sesuai harapan pengguna agar dapat memunculkan sifat ketergantungan pengguna terhadap platform tersebut. Dengan kata lain, platform ini dirancang agar pengguna merasa adiktif dan terus menggunakan jasa platform tersebut dengan embel-embel 'curhat'.

Pada tahun 2024, publik dikejutkan oleh kisah Sophie Rottenberg (29) yang ditemukan bunuh diri setelah berbulan-bulan mencurahkan isi hatinya dengan ChatBot AI yang dianggap sebagai terapis pribadinya. Kisah ini dirilis oleh ibunya melalui artikel berjudul "What My Daughter Told ChatGPT Before She Took Her Life" yang dirilis lewat situs The New York Times. Sophie mencurahkan isi hati dan pikirannya pada AI yang ia panggil bernama 'Harry". Melalui Harry, Sophie menceritakan banyak pemikiran emosionalnya yang mengarah ke rencana mengakhiri diri. Harry yang dirancang sebagai AI hanya dapat merespon dengan memberikan dukungan emosional dan memvalidasi emosi Sophie yang justru memperkuat pemikirannya. Dalam kode etik psikologis, terapi dilakukan oleh tenaga profesional dengan standar keamanan dan mampu memberikan solusi secara tepat. Kasus Sophie ini menunjukkan betapa bahayanya ketergantungan emosional pada ChatBot AI tanpa kode etik psikologis.

ChatBot AI mungkin dapat membuat pengguna mendapat dukungan emosional, namun tidak dapat menggantikan peran manusia atau terapis. AI hanya akan memvalidasi emosi kita, namun tidak akan memberhentikan pikiran tersebut. Meskipun ChatBot AI menawarkan banyak keuntungan, penting untuk kita memberi batasan agar tidak mengalami ketergantungan emosional pada platform tersebut. Jika terbebani oleh pikiran buruk dan merasa tidak dapat mengontrol diri sendiri, segera cerita ke orang terdekat anda dan minta bantuan ke tenaga profesional. Karena teknologi mungkin bisa menjadi teman, tapi bukan sebagai pengganti dukungan nyata yang dibutuhkan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun