Mohon tunggu...
Annisa Saumi
Annisa Saumi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Invasi Sunyi Media

24 Juni 2015   16:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:04 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di jaman ini kita semua adalah performer, di mana setiap orang bebas mengekspresikan dirinya sesuai keinginannya. Urusan penampilan bagi sebagian masyarakat kelas menengah dan ke atas menjadi sangat penting saat ini. Hasrat untuk bergaya diiringi dengan semakin banyaknya pusat perbelanjaan yang menawarkan produk fashion pemanja mata sekaligus pemuas hawa nafsu bagi kaum urban. Urusan fashion ini tak lepas dari serbuan media, baik elektronik, online, maupun cetak yang menembus ruang-ruang privat kita.

Masalah pemuasan hawa nafsu dengan terus membeli dan membeli ini merupakan masalah sehari-hari yang cenderung tak kita sadari dalam realitas kita. Saya teringat cerita pendek berjudul "Tony Takitani" dari Haruki Murakami. Tokoh utama dalam cerpen tersebut, Tony Takitani, memiliki seorang istri yang tergila-gila pada pakaian. Setiap berjalan-jalan, si istri tidak dapat menahan hawa nafsunya untuk berbelanja, berbelanja, dan berbelanja pakaian terus menerus walaupun si istri sadar pakaian tersebut tidak dibutuhkannya. Si istri pun semakin menggila ketika melihat artikel-artikel fashion, membuatnya semakin ingin berbelanja terus-menerus. Untungnya Tony Takitani dalam cerita itu adalah orang kaya. Hingga akhirnya karena ketakmampuan istri Tony Takitani menahan hasrat berbelanja mengakibatkan ia pada insiden yang berujung kematian.

Konten tren fashion populer yang ditawarkan oleh media akan selalu berkiblat pada budaya western. Tidak akan ada konten yang berkiblat semisalnya pada budaya antah berantah seperti Afrika. Homogenitas konten yang sebagian besar mengacu pada produk budaya western, khususnya Amerika tersebut menimbulkan ketidakseimbangan, di mana Amerika terlalu banyak mengekspor produk budayanya sedangkan negara-negara lainnya hanya menjadi penerima (Ibrahim, 2007). Hal tersebut terjadi pada konten-konten majalah remaja yang biasanya mengacu pada produk budaya yang diekspor Amerika.

Menarik untuk disoroti bagaimana Amerika dan negara western lainnya menguatkan dominasi budaya mereka di negara berkembang melalui penciptaan tren populernya. Dalam hal tersebut, penciptaan realitas dan kesadaran palsu mutlak diperlukan untuk menghegemoni penduduk negara lain. Serbuan majalah remaja yang menawarkan gaya hidup yang sebenarnya tak diperlukan tersebut secara tidak disadari menanamkan benih konsumerisme.

Terhegemoni berarti juga terkuasai. Kuasa yang coba ditancapkan pada masyarakat konsumer saat ini bukanlah model kekuasaan berupa pertarungan antar kelas yang mendominasi dan didominasi dalam bidang politik ataupun pertarungan kepemilikan tanah seperti yang terjadi pada jaman Marx. Kuasa pada saat ini cenderung bersesuaian dengan argumen milik Michel Foucault, di mana kekuasaan tidak lagi bersifat represif namun cenderung menyenangkan (Piliang, 2003:114). Kekuasaan tersebut menimbulkan efek pada tingkat hawa nafsu.

Dalam kaitannya dengan konsumerisme, majalah remaja memberikan akses pengetahuan kepada pembaca remajanya. Berdasarkan penelitian yang saya dan kawan-kawan lakukan atas majalah remaja Kawanku!, kuasa yang ditimbulkan oleh majalah-majalah remaja tersebut cenderung mengarah pada perilaku konsumtif dan pemuasan hasrat, di mana nilai guna sudah tidak lebih penting lagi ketimbang brand dan prestise. Pemuasan hawa nafsu dengan perilaku konsumtif tersebut akan berdampak pada rasio yang pada akhirnya akan memunculkan pemikiran untuk membeli, membeli, dan membeli terus sampai mati.

Baudrillard melihat hal ini sebagai konsumsi tanda semata, di mana citra suatu benda lebih penting daripada nilai guna. Maka tak heran muncullah slogan-slogan seperti "Aku berbelanja, maka aku ada", "Aku bergaya, maka aku ada", dan sebagainya. Nilai prestise dan pemuasan hasrat tersebut digunakan untuk menunjukkan identitas dan eksistensi.

Penciptaan identitas semu memainkan peranan penting dalam kaitannya dengan konsumerisme. Identitas merupakan masalah yang timbul seiring munculnya modernitas. Fashion, gaya hidup, dan identitas sosial itu sendiri merupakan bagian dari proses pergulatan sosial dan bahkan konflik antara model-model dan ideologi-ideologi yang saling bertentangan. Sebagai akibat dari globalisasi dan pembentukan identitas tersebut, tercipta sebuah homogenitas pada masyarakat dunia dalam memaknai sebuah penampilan fashion. Seperti yang diungkapkan Michael Ryan dan Hannah Musiol (2010) “Many people around the globe, as a result, share, despite national, regional, and provincial cultural differences, the same sense of what a “ modern ” lifestyle is or what appropriately “ modern ” fashions in clothing are”.

Menilik dari pernyataan Michael Ryan dan Hannah Musiol, adanya globalisasi adalah alasan mengapa orang-orang di berbagai belahan dunia memiliki selera dan cita rasa fashion yang sama. Cita rasa yang sama tersebut adalah dampak globalisasi media yang tidak hanya berkaitan dengan pertumbuhan periklanan dunia dan peningkatan teknologi komunikasi yang mendorong operasi serta kontrol lintas-batas, tetapi juga keseragaman isi media itu sendiri (Brunner, dalam Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012).

Masalah-masalah tersebut tak terlepas dari globalisasi yang muncul seiring dengan modernitas. Jika melacak ke beberapa puluh tahun silam, Edward Said melalui Orientalisme-nya menjabarkan superioritas barat yang mencoba mentimurkan timur dan menganggap diri mereka lebih modern daripada orang timur yang peradaban besarnya telah hancur. Karena sifat narsistik tersebut, barat dengan berani menjajah bangsa timur dan membuat pengetahuan baru tentang bangsa timur yang sangat menjatuhkan. Kolonialisme barat melalui jalur pendudukan memang telah berakhir di masa ini, namun saat ini muncul imperialisme jenis baru yang menginvasi melalui media massa. Saat ini siapa yang menguasai media, dia yang menguasai dunia. Sekali lagi, barat menunjukkan superioritasnya atas timur yang kata mereka inferior.

----
Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun