Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), Ibu kerap membawa saya belanja ke pasar. Itu adalah momen yang saya tunggu-tunggu karena selain berbelanja, kami juga biasanya sarapan bersama. Di pasar, ibu punya langganan tetap---tukang sayur, tukang ikan, tukang daging, dan tukang buah. Rutinitas ini membuat saya mengenal penjualnya dan menghapal lokasi-lokasi yang kami kunjungi. Di sana, Saya melihat ibu dengan cermat memilih bawang dan cabai yang berkualitas terbaik. Tangan kecil sayapun ikut-ikutan membantu memilihnya. Untuk ikan, ibu memastikan insangnya merah segar dan matanya bening, bukan merah keruh. Bukan hanya memilih bahan-bahan makanan, saya juga mengamati hingga seni menawar harga. Uniknya, ibu selalu berpakaian rapi saat belanja dan membawa keranjang di tangannya. Sesampainya di rumah, saya dan adik perempuan saya mendapat tugas memetik tauge dan sayur, membantu kakak yang ada di rumah.
Sampai suatu saat, ketika saya sudah duduk di bangku kelas 2 SMP, Ibu mendapat tugas belajar dari pemerintah selama 6 bulan. Tempat yang dituju ibu nun jauh dari kami. Segera setelah mendapat surat resmi, ibu mulai mempersiapkan banyak hal terutama tugas domestik. Selaku anak perempuan tertua, saya diwejangi pesan-pesan penting. Beliau yakin akan selalu dapat mengandalkan anak perempuannya. Dia menugasi saya untuk menjaga adik-adik saya yang masih kecil terutama si bungsu yang biasa tidur bersamanya, saya yang harus menggantikan tugasnya.
Tidak hanya pesan verbal, ibu juga meninggalkan catatan-catatan kecil yang ditempel di berbagai sudut rumah: "Ingat matikan kompor" di dapur, "Cabut stop kontak setrika" di tempat menyetrika, dan pesan-pesan lain agar kami tidak lupa.
Setelah kami mengantar ibu, saya memulai peran baru saya. Adik bungsu saya tidur dengan saya tiap malam sedang adik saya yang lain bersama ayah saya. Sesuai pesan ibu, saya harus mengecek adik saya ketika tidur, apakah bajunya basah karena keringat, saya harus menggantinya, atau apakah pipis, saya juga harus memperhatikannya atau juga jika dia haus dsb. Saya jadi terbiasa dan menikmati tugas itu.
Sebelum ibu berangkat tugas belajar, saya pergi dan pulang sekolah masih naik bus sekolah.Ibu saya belum berani melepas anak perempuannya naik angkutan umum. Namun, segera setelah ibu pergi, Ayah saya yang mendidik saya untuk mulai naik angkutan umum ke sekolah. Awalnya saya takut dan ragu. Saya diantarkan ayah ke sekolah dengan bus sekedar untuk memberi simulasi. Saya mengamatinya dengan seksama perjalanan ini dan turunnya dimana. Lalu saya harus berjalan kaki sedikit untuk tiba di sekolah. Meskipun hati saya sebenarnya sedih, tetapi saya sangat gembira ketika berhasil melewatinya. Akhirnya saya jadi mandiri dan percaya diri ketika naik angkot.
Di samping itu, saya juga rutin berbelanja ke pasar untuk belanja bulanan. Pada masa itu, belum ada minimarket atau supermarket, jadi saya harus ke pasar tradisional untuk membeli sabun, beras, gula, odol, ikan teri, telur dll. Tugas ini saya lakoni ketika tengah hari saat pulang sekolah. Pengalaman saya beberapa tahun ikut ibu ke pasar, memudahkan saya untuk membeli kebutuhan pokok tersebut karena saya sudah menghapal lokasinya dan mengenal penjualnya. Merekapun dengan senang hati membantu gadis kecil berseragam putih biru ini mengantar belanjaan saya ke dalam beca. Saya senang jika uang yang saya bawa itu masih sisa.
Saya juga harus memastikan masakan di rumah siap. Kebetulan saat itu, ada kakak angkat saya yang sekolah di siang hari yang membantu memasak di rumah. Dia juga yang belanja sayuran di warung setiap pagi.
Sepanjang 6 bulan tersebut, komunikasi kami dengan ibu hanya melalui surat, karena kami belum memiliki telepon pada saat itu.
Pernah suatu saat, adik bungsu saya sakit demam. Ayah saya harus izin dari tempat kerjanya untuk menjaga si bungsu ketika saya sekolah. Namun, setelah beberapa hari demamnya tidak kunjung turun, sementara ayah saya harus bertugas. Sepulangnya saya dari sekolah, ayah saya bertanya pada saya jika saya berani pergi ke tempat nenek saya untuk menjemputnya. Itu berarti saya harus naik bus seorang diri ke luar kota—sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Nenek saya tinggal di kota yang berbeda dengan kami dengan jarak 1 jam jika naik bus umum. Karena tidak adanya alat komunikasi kami saat itu seperti telepon, mau tidak mau kami harus menjemput sendiri. Lalu, saya dengan percaya diri menyanggupinya. Padahal, sejujurnya, saya belum pernah ke luar kota sendiri dengan bus umum. Dengan modal petunjuk dari ayah dan ingatan tentang perjalanan ke rumah nenek, saya memberanikan diri. Saya duduk di dekat kondektur, berulang kali bertanya, “Sudah sampai, Pak?” Untungnya, beliau sabar menjawab. Saat turun dari bus, saya masih ragu-ragu dan harus bertanya arah kepada beberapa orang. Jantung saya berdebar, tetapi saya terus meyakinkan diri bahwa saya bisa. Akhirnya, saya tiba di rumah nenek dengan selamat. Nenek kaget melihat saya datang sendiri, tetapi tanpa banyak tanya, kami segera kembali ke rumah dengan bus.
Pengalaman-pengalaman ini menempa saya menjadi pribadi yang tangguh, mandiri, dan bertanggung jawab. Secara tidak sadar, semua hal yang saya alami saat kecil menjadi bekal berharga ketika ibu tidak berada di rumah. Itulah yang kemudian membentuk saya sebagai seorang ibu yang percaya diri dan tidak canggung dalam tugas rumah tangga. Saya bersyukur mendapatkan pelajaran hidup yang tidak saya peroleh di bangku sekolah.
Anak perempuan memang menjadi tangan kanan ibunya---dan saya bangga telah menjalankan peran itu.