Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Leluhur Prabowo Subianto, Para Ksatria Lembah Serayu Banyumas(03)

8 Juli 2014   05:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:05 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1404746282389254768

Sumitro Djojohadikusumo(Sumber Gbr:Wikipedia)

SERI 03

3.Sumitro Djojohadikusumo, turunan ke- 14 Adipati Mrapat.

Sumitro Djojohadikusumo, putra sulung RM. Margono Djojohadikusumo, lahir di Kebumen, pada tanggal 29 Mei 1917. Sumitro menyelesaikan pendidikannya di HBS, suatu petunjuk bahwa RM. Margono yang putra Wedana Banyumas itu, sempat pula menjabat jadi Wedana di daerah Kebumen. Sebab pada masa itu, hanya putra seorang priyayi pribumi, seperti Wedanalah yang mampu menyekolahkan putranya masuk HBS. Biaya masuk HBS saat itu termasuk tinggi, sekitar 150 gulden per bulan. Sedang gajih seorang Wedana sekitar 500-600 gulden/bulan. RM.Margono pun mampu mengirimkan Sumitro melanjutkan sekolah ke negeri Belanda, masuk sekolah elit dan bergengsi pula, Nederlands School of Economiics di Rotterdam. Hal ini menunjukkan, RM.Margono termasuk keluarga mampu.
Sumitro berangkat ke negeri Belanda pada akhir Mei 1935, pada usia yang sangat muda,18 tahun. Prestasi belajarnya cukup mengagumkan. Pada tahun 1937 sudah meraih gelar Bachelor of Arts dari Universitas yang bergengsi itu. Padahal waktu di Negeri Belanda itu, Sumitro bukanlah kutu buku yang menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar. Dia pun masih sempat terjun secara aktif menjadi simpatisan gerakan sosialis di Belanda. Sumitro bersahabat dengan seorang penulis sosialis radikal Belanda, Jef Cast.
Menurut Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, dengan bantuan sahabatnya itu, Sumitro berhasil masuk ke dalam Brigade Internasional dan sempat mengikuti latihan di Catalogne. Tapi karena ketahuan usia yang saat itu masih sangat muda, baru 20 tahun dia dikeluarkan dari Brigade Internasional itu. Ketertarikan Sumitro masuk ke dalam Brigade Internasional yang dibentuk tokoh-tokoh sosialis Eropa itu, menunjukkan adanya jiwa petualangan dan darah pejuang ksatria Banyumas yang mengalir dalam dirinya, di samping bakat intelektualnya yang memang menonjol
Tahun 1938, Sumitro pergi ke Paris, maksudnya melanjutkan kuliah di Sorbonne. Tetapi rupanya dia kesulitan biaya, sehingga harus membanting tulang dengan bekerja sebagai waiters di Hotel Lancaster, Rue de Barry, dekat Des Champs-Elysees, Paris. Semua itu dilakukan dalam rangka mencari beaya untuk melanjutkan kuliahnya.
Sebagai simpatisan partai sosialis, tentu saja di Paris dia dengan mudah berkenalan dengan penulis sosialis terkenal Andre Malraux. Asvi Warman Adam menulis kisah pertemuan Sumitro dengan tokoh sosialis Perancis itu sbb:
“Di Paris Sumitro berkenalan dengan Andre Malraux, seorang penulis sosialis terkenal, dalam suatu pertemuan pengumpulan dana bagi perjuangan kaum republiken Spanyol menentang Jendral Franco. Andre Malraux, saat itu berusia 37 tahun, seorang pengarang idola pemuda pada masa itu. Andre Malraux memimpin skuadron dalam pertempuran di Tolido dan Madrid, serta melakukan operasi penerbangan tidak kurang dari 60 kali”
Pada diri Andre Malraux, Sumitro sangat mengaguminya. Terutama pada harmoni absolut antara ide-ide, tulisan-tulisannya dan actionnya sebagai homme d’action dalam berbagai periode kehidupannya. Mulai dari petualnannya di Indochina dan China, keterlibatannya dalam perang saudara di Spanyol, kemudian berperang melawan tentara pendudukan Jerman, akhirnya mencapai puncak karir dalam Kabinet Jendral De Gaule, menjadi Menteri Informasi pada tahun 1945 dan Menteri Kebudayaan pada tahun 1959, demikian tulis Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam.
Prinsip penting dari pribadi Andre Malraux yang rupanya banyak mengilhami Sumitro adalah nilai penting dari sebuah ide hanya bisa dibuktikan oleh sebuah action yang mengikutinya. Sumitro sangat senang mengutip tulisan Andre Malraux berikut ini:
“ Peradaban berarti menggerakkan kekuatan manusia untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, bukan bermimpi untuk mendapatkan apa yang dinginkannya”.
Bisa jadi prinsip itulah yang menyebabkan Sumitro mampu melejitkan dirinya bagaikan anak panah yang lepas menuju langit biru cita-citanya.
Sumitro tinggal di Paris antara tahun 1938-1939, kemudian kembali lagi ke Rotterdam untuk meraih gelar doktor ekonominya. Ketika pecah Perang Dunia II dan Nazi Jerman menyerang Belanda pada tanggal 5 Mei 1940, Sumitro justru sedang giat-giatnya ngebut menyelesaikan tesis doktornya. Pada tahun itu juga gelar Master of Arts (MA), berhasil diraihnya. Dan pada tahun 1943, ketika usianya baru 26 tahun, Sumitro telah berhasil meraih gelar doktor di bawah bimbingan Prof. Dr.G.L. Gronggrijp, sebagai promotor. Disertasinya berjudul,”Het Volkscredit Wezen in de Deprssie”( Kredit Rakyat Jawa Pada Masa Depresi). Bobot disertasinya itu dibuktikan dengan kesediaan Lembaga Penelitian Ekonomi Nederlands Economische Hoogeschool menerbitkan disertasi Dr.Sumitro.
Pertengahan Agustus 1945, Sumitro masih di Belanda, kesehatannya agak terganggu. Tiba-tiba pada tanggal 18- Agustus 1945, dia mendengar siaran dari Radio Hilversum berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Berita itu kontan membuatnya dia sembuh dari sakitnya. Bisa jadi karena gembiranya menyambut kemerdekaan bangsanya.
Pada tanggal 17 Januari 1946, ketika Dewan Keamanan menyelenggarakan Sidang di Church House London, Sumitro bersama Zairin Zain terbang ke London untuk ikut menghadiri sidang DK PBB. Hal ini membuktikan kapasitas Sumitro yang mulai menapaki dunia politik tingkat internasional sebagai seorang diplomat yang handal. Usia Sumitro saat itu belum genap 30 tahun.
Selesai Sidang DK PBB, Sumitro dan Zairin Zain terbang ke Jakarta. Ia tiba di rumah orang tuanya di Jakarta, disambut dengan suasana duka cita yang amat mendalam, karena kedua adiknya Kapten Anumerta Subianto(21 tahun) dan Taruna Sujono (16 tahun), baru saja gugur dalam pertempuran di Lengkong Tangerang, 25 Januari 1946.
Kehadiran intelektual muda penuh gairah seperti Sumitro itu, tentu saja bagi PM.Syahrir seperti menambah darah segar bagi kebijakan perjuangan diplomasinya melawan Belanda. Pada tanggal 14 Maret 1946, Sumitro ditarik menjadi sfat perdana menteri dengan tugas menyusun argumen-argumen baru dalam menghadapi perang diplomasi dengan Belanda.
Sementara itu Bung Karno pada tanggal 21 April 1947, membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang dipimpin Bung Hatta dengan anggota berjumlah 98 orang. Sumitro termasuk salah satu anggota yang berada di bawah kordinasi Mr.Syafruddin Prawiranegara dengan tugas memikirkan masalah masalah keuangan.
Di bidang keuangan jelas negara muda NKRI itu menghadapi masalah yang pelik dan sulit. Pada masa transisi itu, di masyarakat beredar tiga jenis mata uang, yaitu gulden Belanda, uang Jepang dan uang NICA. Tim kecil pimpinan Mr.Syafruddin Prawiranegara itu secara berangsur-angsur harus melakukan penggantian mata uang yang beredar di masyarakat itu denagn ORI(Oeang Repoeblik Indonesia). Ternyata untuk mencetak ORI itu diperlukan bahan kimia yang dipasaran dalam negeri sama sekali tidak tersedia. Hanya ada satu cara yaitu pergi ke Singapura dan melakukan penyelundupan menghindari blokade NICA. Sumitro yang saat itu masih muda dan memang gemar bertualang dengan senang menjalankan tugas untuk menyelundupkan bahan-bahan kimia untuk mencetak uang ORI dari Singapura. Ternyata tugas itu dapat dijalankan dengan baik oleh Sumitro. Uang ORI pun bisa dicetak sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI.
Pada tgl 21 Juli 1947, meletus Perang Agresi I yang dilancarkan oleh Belanda. India dan Australia membawa tindakan sepihak Belanda itu ke Sidang DK PBB di Lake Succes Amerika Serikat. Syahrir terbang ke sana dengan membawa Agus Salim, Charles Tumbu, Sujatmiko dan Sumitro. Satu setengah tahun kemudian, kembali meletus Perang Agresi II, 19 Desember 1948. Bung Karno, Hatta, Syahrir ditangkap Belanda. Sumitro bergegas menemui Robert A.Lovelt,Pejabat Menlu AS,seraya menyerahkan memorandum untuk masukan dalam Sidang DK PBB. Di tengah-tengah sidang, Sumitro mundur dan terbang ke New Delhi untuk menghadiri Konferensi Asia Afrika yang membahas Indonesia. Sumitro bergabung dengan delegasi Indonesia yang dipimpin AA.Maramis.
Bakat Sumitro sebagai seorang diplomat, nampak dari perannya memperjuangkan NKRI dalam berbagai forum Internasional,mulai dari sidang-sidang DK PBB sampai Konferensi Asia Afrika.
Tidak mengherankan bahwa setelah KMB dan NKRI diakui kedaulatannya, Sumitro ditunjuk menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan( 1950-1951) pada masa Kabinet Nasir. Usianya waktu itu baru 33 tahun. Sekalipun Kabinet Parlementer kemudian jatuh bangun, Sumitro tetap bisa menduduki kursi menteri. Berturut-turut adalah Menteri Keuangan tahun 1951-1952 dan tahun 1955-1956.(Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun