Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Legenda Citarum dalam Visi Hinduisme

15 September 2018   01:45 Diperbarui: 15 September 2018   02:04 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sang Kuriang pun beranjak remaja dalam asuhan Danyang Sumbi dan si Tumang. Ayah Danyang Sumbi tidak pernah lagi mengirim utusan setelah tahu Danyang Sumbi hamil tanpa suami. Demikian pula Ibunya, yang dulu sesekali datang menengoknya, pun ogah pula, karena menduga Danyang Sumbi telah serong dengan salah seorang punggawa ayahnya. Tetapi Danyang Sumbi tetap tabah. 

Dia tetap menjalan tirakat puasa 40 hari. Setiap selesai puasa, hanya jeda satu minggu, kembali berpuasa selalam 40 hari. Demikian seterusnya sampai Sang Kuriang beranjak remaja, dan sudah pula pandai berburu. Suatu ketika pada hari ke-40 dari puasa rutinya, Danyang Sumbi ingin berbuka dengan lauk hati kijang putih. Maka diperintahkannya Sang Kuriang agar hari itu bisa berburu kijang putih dan membawa pulang hati kijang untuk dimasak sebagai santapan berbuka puasa pada hari ke-40.

Dengan ditemani si Tumang, Sang Kuriang masuk keluar hutan untuk mencari kijang putih.  Rupanya hari itu hari sial. Jangankan kijang putih, sampai lewat tengah hari, tidak satu pun binatang buruan yang ditemuinya sehingga membuat Sang Kuriang nyaris putus asa. Tetapi setelah jauh masuk hutan dan tiba di pinggir hutan yang lain, Sang Kuriang melihat seekor kijang putih yang dicarinya. 

Tahu akan dipanah, kijang pun lari. Sang Kuriang tak mau kehilangan binatang buruannya. Dia segera mengejarnya diikuti si Tumang yang berlari sambil menyalak. Tiba-tiba kijang yang diburunya berhenti sejenak saat papasan dengan seorang wanita tua yang seakan-akan muncul begitu saja di pinggir hutan. Tapi ketika Sang Kuriang akan melepaskan anak panahnya, si Tumang justru berbalik arah sambil menyalak keras-keras seakan-akan menghalangi Sang Kuriang supaya jangan memanah kijang putih yang tepat berada di depan seorang wanita tua. Akibat ulah si Tumang, Sang Kuriang gagal memanah kijang putih yang telah menghilang di balik pohon, demikian pula wanita tua itu. Dia cepat-cepat menyingkir karena takut jadi sasaran anak panah.

Melihat buruannya menghilang, Sang Kuriang langsung murka. Anak panah yang telah siap dilepaskan, segera diarahkan ke muka si Tumang yang masih terus menyalak untuk menghalang-halangi Sang Kuriang. Tak ampun lagi anak panah melesat dari busurnya, tepat mengenai mulut si Tumang yang sedang menyalak, tembus ke leher belakang. 

Si Tumang langsung berhenti menyalak, rubuh ke tanah, tewas seketika dengan bersimbah darah. Mula-mula Sang Kuriang terkejut. Tapi akhirnya muncul gagasan untuk menyenangak ibunya. Dengan sebilah pisau, Sang Kuriang membelah perut si Tumang, dan mengambil hati si Tumang yang akan dipersembahkan kepada ibunya dengan mengaku sebagai hati kijang putih hasil buruan pesanan ibunya.

Ketika Sang Kuriang membalikkan badannya dan lari meninggalkan begitu saja si Tumang di pinggir hutan, tubuh si Tumang pun lenyap.  Dewa Brahma tersenyum puas telah terlepas dari kutukan Sang Mahadewi Umma yang telah dijalani lebih dari satu dasawarsa. Dewa Brahma segera terbang ke angkasa dan mengikuti putranya Sang Kuriang dari belakang.

Danyang Sumbi sangat puas menerima persembahan Sang Kuriang. Daging hati hasil buruang putranya itu  segera dimasak untuk santap berbuka pauasa pada hari ke-40, hati terakhir Danyang Sumbi berpuasa. Ketika selesai bersantap ditemani putranya, tiba-tiba Danyang Sumbi ingat si Tumang yang belum juga kelihatan sejak Sang Kuriang tiba di ranggonnya.

"Yang barusan Ibu masak  dan kita santap bersama, itu adalah hati si Tumang, Ibu," jelas Sang Kuriang menjawab pertanyaan ibunya. Sang Kuriang menjawab dengan wajah tanpa perasaan bersalah, yang membuat Danyang Sumbi langsung naik darah. Diambilnya teropong yang ada di dekatnya dan dipukulkan sekeras-kerasnya ke pelipis Sang Kuriang sampai mengeluarkan darah.

"Pergi dari sini, hai anak durhaka!" bentak Danyang Sumbi sambil menjerit dan menangis. Malam itu juga, Sang Kuriang meloncat lari meninggalkan ranggon ibunya, masuk ke dalam hutan, dan menghlang ke arah timur sambil membawa perasaan bersalah. Tetapi juga menyadari, ternyata dirinya bukan ksatria sakti. Sebab hanya dipukul dengan teropong kayu oleh ibunya, pelipisnya masih mengeluakan darah.

Bagaimana pula kalau terkena keris, pedang, tombak, dan senjata tajam lainnya. Sang Kuriang pun bertekad untuk berguru sampai dirinya menjadi orang yang sakti, sesakti para dewa di Kahyangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun