Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sungai Citarum, Antara Sejarah dan Legenda

14 September 2018   13:38 Diperbarui: 15 September 2018   01:19 3901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kisah sejarah Sungai Citarum baru muncul pada abad ke-5 Masehi, kisah legendanya lebih tua lagi. Rakyat Sunda mengenal Sungai Citarum dari legenda Sangkuriang dan Danyang Sumbi, yang dikaitkan dengan terbentuknya gunung Tangkuban Perahu. Saat itu dataran tinggi Bandung masih merupakan sebuah lembah yang indah, sudah ada danau kecil atau situ yang jernih airnya, di sisi utara lembah ada gunung berapi yang dipuja penduduk penghuni lembah Bandung yang dipimpin raja sakti yang bernama Sungging Prabangkara.

Membelah tengah-tengah lembah dari arah tenggara menuju barat laut mengalir sungai Citarum yang jernih airnya. Setelah melewati sisi barat danau kecil, dan sisi barat gunung berapi, sungai Citarum pun terus mengalir menuju Laut Jawa. Dari sini muncul legenda Sangkuriang yang terkenal itu.

Alksah ketika sedang berburu di tepi Sungai Citarum, Sang Raja jatuh cinta pada gadis cantik yang tinggal di tepi sungai. Akibatnya gadis tadi hamil, dan lahirlah anaknya yang juga cantik jelita yang diberi nama Danyang Sumbi. Danyang Sumbi besar dalam asuhan Ibunya, tetapi setelah menginjak remaja, Danyang Sumbi diantarkan Ibunya menemuai ayahnya di Istana.

Sang Raja sangat terkejut melihat kecantikan Danyang Sumbi yang wajahnya sangat mirip dirinya. Danyang Sumbi langsung diakui sebagai putrinya, karena kebetulan Sang Raja tidak punya anak perempuan. Akhirnya Danyang Sumbi tinggal diistana raja, sedang ibunya milih kembali ke kampungnya di tepi Sungai Citarum.

Selama tinggal di Istana, Danyang Sumbi belajar menenun, dan tenunanya pun sangat halus, tidak ada yang dapat mengalahkannya. Karyanya dijadikan bahan rebutan para ksatria. Sementara itu, Danyang Sumbi terus tumbuh menjadi gadis cantik sweet seventin yang mulai dilirik para punggawa ayahnya. Lamaran lewat ayahnya pun datang bertubi-tubi. 

Tapi Danyang Sumbi yang gemar tirakat dengan berpuasa sampai 40 hari itu, selalu menolak setiap lamaran yang datang kepada ayahnya. Kepada ayahnya, Danyang Sumbi mengaku belum tertarik punya suami karena dia masih terus tirakat agar Dewa mengabulkan keinginangnnya. Apa keinginan Danyang Sumbi? Dia ingin menjadi wanita yang tetap cantik dan awet muda sampai usia tua, sekalipun kelak dia harus melahirkan dan punya anak dari seorang suami yang dicintainya.

"Jika itu yang menjadi tekadmu, Ayah hanya mendoakan semoga Dewa mengabulkan keinginanmu," kata Sang Raja yang mengabulkan keinginan Dayang Sumbi  tinggal di tepi Sungai Citarum, dekat Situ Bandung, tidak jauh dari hutan tempat tinggal ibunya. Bahkan Sang Raja pun membuatkan rumah panggung atau rangon untuk tempat tinggal Danyang Sumbi, sambil mengisi kesibukan sehari-harinya dengan menunun. Dengan tinggal di luar istana, Danyang Sumbi dapat menghindari lamaran lelaki punggawa ayahnya yang terpikat pada kecantikannya dan ingin memperistrinya.

Secara rutin Sang Raja mengirimkan punggawanya untuk memasok perbekalan makanan dan benang tenun, serta mengambil kain tenun yang telah jadi untuk dibawa kembali ke Istana Raja. Tidak dikisahkan apakah kain tenunan Danyang Sumbi di istana raja lalu dibatik dengan warna biru dari tanaman tarum yang banyak tumbuh di tepi Sungai Citarum.  

Ceritera pun terus bergulir, bahwa Sang Raja Sungging Prabangkara beserta kawulanya adalah pemeluk agama Hindu Brahma. Mereka memuja Dewa Brahma dengan secara rutin melakukan sesaji kurban di puncak gunung berapi di utara lembah Bandung. Karena itu, Dewa Brahma pun dari Istanya di Suralaya, secara rutin turuh ke Lembah Bandung. Sering pula singgah sebentar di Sungai Citarum, sebelum meneruskan perjalan ke puncak gunung untuk menerima sesaji dari Sang Raja Prabangkara.

Ternyata bukan hanya Dewa Brahma yang sering mendatangi Sungai Citarum di Lembah Bandung yang indah dan menawan itu. Dewi Uma istri Batara Guru pun suka turun ke Lembah Bandung dengan pengiringnya hanya untuk mandi di Sungai Citarum yang jernih airnya. Bagi para bidadari, Sungai Citarum merupakan sungai suci, karena para bidadarilah yang menanam tanaman tarum di sepanjang Sungai Citarum. 

Secara rutin para bidadari juga mendatangi Sungai Citarum. Bukan hanya untuk mandi, tetapi juga untuk memanen tanaman tarum, dan membawanya ke Suralaya. Di sana para bidadari mengubahnya menjadi bahan pewarna biru untuk membatik kain dan baju para bidadari dengan aneka motif dan corak yang didominasi warna biru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun