Mohon tunggu...
anita putri
anita putri Mohon Tunggu... Musisi - swasta

seorang yang sangat menyukai musik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hentikan Aturan yang Berlindung di Belakang Kearifan Lokal

11 Februari 2021   13:24 Diperbarui: 11 Februari 2021   13:44 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun sebelum kewajiban siswi non muslim untuk berjilbab di sebuah SMK Sumatera Barat heboh di media, ada beberapa kejadian serupa juga terjadi. Pada tahun 2017 misalnya. Ada aturan untuk menggunakan jilbab termasuk siswa non muslim di sebuah SMP di Banyuwangi -- Jawa Timur. Contohnya, seorang calon siswi SMP 3 Genteng Banyuwangi memilih menarik berkas pendaftarannya karena merasa ada diskriminasi, karena sempat ditolak untuk masuk ke sekolah tersebut dengan alasan agama calon siswi itu adalan non muslim. Selain itu ada beberapa kejadian serupa ditemukan di Bima Nusa Tenggara Barat.

Sementara itu, konon ada juga aturan yang melarang siswi untuk mengenakan jilbab di beberapa sekolah negeri di Bali pada tahun 2-14, meski kemudian aturan itu direvisi. Semua contoh di atas adalah bentuk aturan yang berlindung dibalik kearifan lokal yang menjadi basis logika dari otonomi daerah. Otonomi daerah memang dianggap menjadi alasan kuat banyak bidang di banyak wilayah Indonesia menerapkan aturan yang didasarkan budaya dan keyakinan di wilayah itu.

Kita juga ingat dengan Aceh. Provinsi yang disebut dengan serambi Mekkah itu sebagian menerapkan beberapa aturan lokal yang berbasis syariat Islam semisal hukuman cambuk bagi pelanggar aturan dll. Ini juga terjadi pada kehidupan bermasyarakat semisal para wanita harus berjilbab dll.

Bila ditelaah, aturan-aturan di sekolah yang menjadi kewajiban anak didik itu merupakan pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan.  Aturan yang dilanggar itu adalah UU Perlindungan Anak, UU Hak Asasi Manusia, dan UU Sisdiknas. Komunitas resmi pendidikan termasuk anak dan guru didik harus menghargai perbedaan, terlebih pihak penyelenggara pendidikan.

Bagaimanapun komunitas sekolah adalah satu komunitas dengan lingkungan ilmu pengetahuan yang seharusnya tidak menekankan perbedaan yang menyertai keberadaan mereka. Sekolah merupakan tempat untuk mengasah logika berfikir, daya kritis dan daya pikir yang berlaku bagi semua orang, baik itu berkulit gelap atau terang. Baik yang beragama Hindu, Kristen atau muslim.

Semua orang sama di mata ilmu pengetahuan. Sekolah kedokteran mengandalkan kemampuman eksakta dalam perkuliahannya. Begitu juga ilmu tanah, mengandalkan biologi dan pengetahuan soal tanah dalam pembelajarannya. Seorang dokter juga tiak perlu memilih pasien harus beragama Islam atau harus beragama Hindu (jika dia di Bali). Semua setara di mata Tuhan dan ilmu pengetahuan.

Karena itu, kita mengharapkan kejadian di Sumatera Barat adalah  kejadian untuk terakhir kalinya seiring dengan diterbitkannya SKB tiga menteri soal seragam sekolah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun