Mohon tunggu...
anita putri
anita putri Mohon Tunggu... Musisi - swasta

seorang yang sangat menyukai musik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menampung Aspirasi, Menguatkan Jati Diri Negeri

4 April 2018   21:35 Diperbarui: 4 April 2018   21:43 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musyawarah - independensi.com

Salah satu negara yang mempunyai tingkat keberagaman tinggi adalah Indonesia. Tingginya keberagaman ini telah melahirkan banyaknya kepentingan diantara masyarakat. Untuk itulah perlu mekanisme yang bisa diterima semua pihak, agar kepentingan-kepentingan yang berbeda itu bisa terakomodir dengan baik. Dan mekanisme itu sudah ada dalam adat istiadat yang ada di negeri ini. Dan mekanisme ini ternyata juga dianjurkan dalam ajaran agama. Bukan hal yang berlebihan, jika mekanisme itu kemudian diakomodir dalam sila keempat Pancasila.

Sila keempat Pancasila berbunyi, 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.' Sila ini menegaskan bahwa rakyat mempunyai posisi yang sangat penting dalam sebuah negara. Negara harus berkembang sesuai dengan kebutuhan rakyatnya. Karena itulah, siapa saja yang duduk di kursi pemerintahan, harus mampu mendengar aspirasi rakyat. Tak perduli rakyat itu beda pandangan politik, beda latar belakang atau beda keyakinan sekalipun, harus diakomodir kepentingannya. Karena siapapun mempunyai hak dan kewajiban yang sama di Indonesia.

Karena itu pula, Indonesia menjadikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, sebagai dasar negara. Salah satunya adalah musyawarah untuk mufakat. Mari kita lihat aktifitas di lingkungan sekitar. Pernahkah kalian lihat ada orang berdebat karena perbedaan pendapat? 

Orang berantem karena merasa dilecehkan? Atau karena tindakan negative lain karena faktor tertentu. Jika dulu dilakukan secara individu, di era yang serba modern ini, tindakan negative bisa dilakukan secara massal. Aksi persekusi bisa terjadi hanya karena tersinggung. Orang berbeda agama bisa saja dianggap kafir. Pandanmgan yang tidak jelas dasarnya itu, kemudian terus berkembang ditengah masyarakat.

Akibatnya, berbeda pendapat menjadi hal yang mengkhawatirkan. Padahal berbeda pendapat itu diperlukan, untuk mendewasakan pola pikir seseorang. Berbeda latar belakang diperlukan untuk membuat keseharian kita penuh warna. Berbeda agama diperlukan agar kita bisa saling mengenal dan saling menghormati antar sesama. Ingat, Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Jika kita tidak bisa saling mengenal dan memahami, bisa berpotensi memunculkan perselisihan dan konflik. Jika hal itu terjadi, tidak hanya kita yang rugi, tapi juga lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Saat ini, ujaran kebencian di dunia nyata dan dunia maya marak terjadi. Bibit kebencian ini sengaja dimunculkan, agar masyarakat kehilangan logika berpikirnya. Bibit kebencian ini terbukti mendekatkan diri pada  praktek intoleransi dan radikalisme. Bibit kebencian akan melahirkan perasaan paling benar sendiri, dan menganggap pihak yang bersebarangan sebagai pihak yang salah. Jika diri kita sudah terkontaminasi dengan kebencian, maka ruang dialog tidak akan pernah terjadi. Dan kalah sudah begiini, musyawarah untuk mufakat akan sulit terjadi.

Padahal, musyawarah untuk mufakat pada dasarnya sudah ada sejak dulu. Dalam setiap budaya di masing-masing suku di negeri ini, hampir seluruhnya mengakomodir musyawarah, sebagai bagian dari tradisi mengakomodir tradisi musyawarah ini. 

Kewajiban musyawarah ini tertuang dalam Al Quran, yaitu dalam QS Ali Imran [3]: 159 dan Asy-Syura [42]: 38. Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Seharusnya, seluruh muslim di negeri ini sangat menjunjung tinggi kewajiban musyawarah ini. Melalui musyawarah, akan bisa menampung berbagai macam aspirasi yang ada. Dan musyawarah ini pula, merupakan jati diri negeri kita, negara kesatuan republik Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun