Mohon tunggu...
anita putri
anita putri Mohon Tunggu... Musisi - swasta

seorang yang sangat menyukai musik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Generasi Milenial untuk Sumpah Pemuda

26 Oktober 2017   05:52 Diperbarui: 26 Oktober 2017   05:59 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumpah Pemuda - http://linikini.id

Jika Anda setuju atau pernah menyebutkan frase "generasi milenial", maka sebenarnya yang Anda sebutkan itu adalah "generasi pasca 1998". Tahun 1998 di sini, tidak sekadar dimaknai sebagai jatuhnya rezim Orde Baru, melainkan lebih kepada kata "krisis" yang menyertainya. "Krisis moneter" atau "krismon" demikian orang menyebutnya." Dan generasi milenial itu sebenarnya adalah generasi yang tumbuh di masa "krisis."

Generasi yang tumbuh dan lahir di masa krisis, akan cenderung melihat dunianya seakan-akan terus-menerus di dalam krisis. Dan, tidak sedikit pula yang barangkali, cenderung pesimistis. Krisis ekonomi? Ya, tetapi dua dekade sejak 1998 situasi ekonomi itu menjadi hantu yang tampak sebagai makhluk sehari-hari. Dan kini krisis berpindah bentuk pada ancaman radikalisme dan penentangan terhadap ide Bhinneka Tunggal Ika.

Generasi milenial ini, di hari-hari ini, adalah konsumen legenda Sumpah Pemuda 1928 yang dihelat oleh sekelompok pemuda -- yang tentu saja adalah generasi milenial di eranya --  dalam konsep pendidikan "pemberitahuan" tanpa "pemaknaan."

Ancaman radikalisme dan perpecahan yang kita rasakan saat ini, terutama karena aktivitas generasi milenial di dunia maya, justru telah mengkhianati apa yang telah diwariskan oleh anak-anak bangsa jajahan itu dalam sari buah kenikmatan yang kita rasakan sebagai sebuah negara bernama Indonesia.

Kini kita sadar bahwa ternyata ide yang dicetuskan oleh milenia sebelum ini harus bertahan dari hantaman abad. Dukungan terhadap radikalisme dan membenci sesama karena perbedaan agama dan suku bangsa adalah bentuk tantangan yang menguji daya tahan Sumpah Pemuda.

Untuk sekadar melihat kepada kenyataan, sebuah studi yang dikerjakan oleh sarjana psikologi Universitas Atmajaya Indonesia dan dirilis di Universal Journal of Psychology edisi 89-95, 2015, menyebut bahwa anak muda di Indonesia belum bisa hidup dalam keterbukaan sebagai masyarakat yang beragam.

"Interaksi dengan anggota dari kelompok lain yang didasari oleh identitas kelompok, diindikasikan dengan kurangnya kepercayaan dari kelompok lain," tulis jurnal ini.

"Beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa dalam latar Indonesia juga tampak identitas keagamaan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Para mahasiswa cenderung memberikan penilaian berdasarkan kategorisasi agama bahkan dalam situasi yang tidak berhubungan dengan isu agama."

Para peneliti yang menyusun jurnal ini memang mengingatkan bahwa kesimpulan ini tidak bisa menggeneralisir. Karena ini adalah studi yang ditunjukkan dalam kelompok terbatas.

Namun, dalam kehidupan sehari-hari, tampaknya itu bukan dalam kehidupan terbatas. Bahkan meluas.

Yang tersisa kini pada kita adalah bahwa anak-anak muda, generasi milenial ini, bukanlah sekumpulan manusia yang tidak bisa bergerak ke arah yang lebih baik secara bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun