Terhitung lebih dari 150 hari kerja kabinet presiden prabowo namun tampaknya banyak persoalan yang hingga kini masih ramai di perbincangan baik di media televisi maupun media online. Polemik mengenai efisiensi anggaran masih menjadi perdebatan publik karena banyaknya kontra terhadap kebijakan tersebut, kini masyarakat harus dihadapkan dengan pemberitaan mengenai RUU TNI sehingga banyak bermunculan poster pada platform digital yang menolak keras pengesahan RUU TNI. Pemberitaan mengenai kasus korupsi pun masih belum surut baik itu mengenai Pertamina, PT Antam maupun korupsi pejabat negara.Â
Presiden Prabowo menertibkan perpres nomor 5 Tahun 2025 mengenai penertiban kawasan hutan, tujuan dibuatnya perpres tersebut guna mengatasi persoalan yang hingga kini berlum terjalankan secara optimal mengenai tata kelola hutan. Namun, pada perpres tersebut menuai banyak kritik dari masyarakat maupun aktivis lingkungan karna dinilai militeristik dengan menggunakan pendekatan militer. Penggunaan militer sebagai penertiban atas lingkungan kerap kali menggunakan cara represif sehingga tidak jarang terjadinya konflik dengan masyarakat terkait tanah adat.
Swasembada pangan merupakan program unggulan yang digadangkan akan di garap secara besar besaran melalui Food Estate. Food estate ialah program pemerintah jangka Panjang yang dikembangkan guna menyelesaikan permasalahan kedaulatan pangan, permasalahan geopolitik , memberikan manfaat yang optimal terhadap lahan pertanian, peningkatan ketahanan pangan nacional dan mendukung pembangunan dalam sector ekonomi di Indonesia. Food estate tertuang dalam perpres no.109 Tahun 2020 mengenai pelaksanaan proyek strategis, program tersebut ditujukan agar lahan pertanian, lahan perkebunan dan peternakan dapat dikelola semaksimal mungkin dengan memanfaatkan suatu kawasan yang akan dijadikan penyedia pangan nasional. Keberhasilan dalam program food estate tentunya membutuhkan dukungan yang baik dari Masyarakat sebagai pelaku operasional dengan penggunaan teknologi modern melalui sosialisasi dan pendampingan yang diberikan oleh pemerintah.
Pembangunan food estate tentunya membutuhkan lahan hutan yang luas sehingga hutan akan mengalami defortasi. Defortasi hutan dapat terjadi karena adanya perladangan yang dilakukan dengan berpindah serta pengalih fungsian hutan menjadi kawasan perekonomian. Dampak jika defortasi hutan dilakukan secara terus menerus yaitu flora dan fauna akan mengalami kepunahan, terjadinya perubahan iklim serta pemanasan global, berkurangnya daerah resapan air dan rentan terjadinya bencana alam. Menurut data BPS defortasi hutan di indonesia dalam kurun waktu 2021-2022 yaitu sebanyak 104 ribu hektar dan menyebabkan terjadinya emisi gas rumah kaca yaitu sebanyak 200juta ton. Pada masa pemerintahan presiden jokowi, penggunaan lahan food estate kembali direncakan untuk dilaksakan di merauke walaupun ketika masa pemerintahan presiden SBY terjadi kegagalan proyek MIFEE karena tingginya kandungan zat besi pada lahan hutan.
Pada tahap pengembangan program food estate, pemerintah melakukan kerjasama dengan Perusahaan swasta yaitu menggunakan skema PPP (Pendanaan public private partnership). PPP ialah perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak swasta dalam kurun waktu panjang. Dengan adanya perjanjian tersebut maka Food Estate dikelolah oleh korporasi dan rentan terjadinya makelar atau free riders sehingga proyek tersebut memberikan keuntungan bagi elit politik dan memberikan dampak kerugian kepada masyarakat yang diakibatkan terjadinya praktik korupsi. Program food estate pada lahan gambut pada akhirnya mengalami kegagalan dan pemerintah kurang memberikan ruang inklusif kepada masyarakat sekitar karena penggunaan tanah adat tanpa perizinan dari masyarakat sehingga terjadinya pengusiran dan pemiskinan bagi masyarakat setempat. Kegagalan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap lanskap alam dan terjadinya kerusakan lingkungan dan ekosistem alam. Program food estate terjadi sejak masa pemerintahan presiden soeharto hingga kini pada pemerintahan prabowo, penulis akan memaparkan faktor penyebab terjadinya kegagalan pada program food estate.
1.Proyek pada lahan gambut sebanyak 1 juta hektar pada tahun 1955 di Kalimantan tengah
•Pemerintah kurang melalukan perencanaan dengan maksimal dan tidak melihat kondisi pada lahan gambut padahal lahan gambut kurang cocok untuk di tanami padi sehingga hasil panen tidak berjalan dengan maksimal
•Penggunaan air dengan menyatukan seluruh proyek dengan menggunakan asumsi bawa tanah yang digunakan ialah topografi, penebangan hutan secara berlebihan sehingga terjadinya kebakaran hutan
•Terjadinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat dan pemerintah tidak memberikan perhatian kepada hak tanah adat dan hak sumberdaya yang dimiliki masyarakat
2.Merauke Integrante ed Food and Energy Estate (MIFEE) Tahun 20210 di Merauke, Papua
•Dalam proses perencanaan program food estate, Masyarakat tidak dilibatkan secara langsung dan tidak memperhatikan kepentingan yang dimiliki oleh Masyarakat atas hak-hak tanah adat sehingga masyarakat tidak memberikan dukungan.
•Sebagian besar lahan yang berada di daerah merauke ialah lahan gambut dan tidak cocok digunakan sebagai lahan pertanian,
•Terjadinya konflik antara tenaga kerja sehingga mengakibatkan program tersebut terkendala
3.Food Estate pada era 3 Tahun 2020 di Kalimantan Tengah
•Pemerintah memaksa pola tanam sehingga terjadinya kegagalan dalam panen dan hasil panen tidak berjalan maksimal untuk ditanam pada periode selanjutnya
•Ketidak siapan lahan tanah yang digunakan karena masih banyaknya akar dan kayu yang tidak dilakukan pembersihan
•Kurangnya partisipasi masyarakat karena pemerintah kurang melakukan sosialisasi dan melibatkan masyarakat
•Tidak adanya skema mengenai pembebasan lahan sehingga rentan terjadinya konflik antara masyarakat dan pemerintah
Kegagalan program food estate yang terjadi pada tiga kepemimpinan presiden di indonesia harus menjadi evaluasi besar bagi presiden prabowo karena kegagalan tersebut akan memiliki dampak jangka panjang baik bagi lingkungan maupun bagi masyarakat setempat. Pemerintah di gadang-gadang akan menggunakan lahan sebanyak 20,6juta hektar sebagai lahan pertanian guna melakukan percepatan dalam swasembada pangan pada tahun 2027. Berjalanya program food estate dengan pemanfaatan hutan juga melibatkan militer sebagai bagian dari penertiban kegiatan hutan. Penggunaan lahan sebanyak 20,6juta hektar menurut pemaparan kementrian kehutanan dapat digunakan dengan bebas melalui penebangan maupun pembakaran hutan dan direncanakan akan dugunakan untuk menanam jagung dan padi. Penggunaan lahan hutan dengan luas tersebut sangat rentan untuk terjadinya defortasi seperti halnya yang terjadi di merauke dan akan menyebabkan terjadinya emisi karbon dengan jumlah yang besar. Hal tersebut dapat dilihat data yang dirilis oleh Global Forest review yang mana negara Indonesia kehilangan hutan primer sebanyak 5,6 persen pada taun 2022 yaitu sebanyak 230 ribu hektar. Dampak penggunaan lahan sebanyak 20,6juta hektar akan mengakibatkan terjadinya kekeringan, bencana alam, pemanasan global, kegagalan dalam panen hingga tersebarnya penyakit yang berasal dari hewan. Tidak hanya itu pengalih fungsian hutan juga akan rentan terjadinya konflik dan perampasan terhadap hak tanah adat yang dimiliki masyarakat adat terlebih pemerintah menggunakan langkah militer untuk melakukan penertiban.
Pemerintah terkesan terburu-buru dalam mengambil kebijakan dan melaksanakan program food estate dengan pangalih fungsian lahan hutan sebanyak 20,6juta tanpa melihat dampak berkelanjutan yang akan terjadi pada lingkungan. Berdasar pada World Resources Institute Food Estate solusi yang dapat digunakan dengan tepat guna menyelesaikan permasalahan pangan bukan hanya mengenai pemanfaatan lahan hutan untuk program food estate. Distribusi pangan di indonesia harus diperbaiki dengan memperbaiki infrastruktur pertanian, memperkuat manajemen barang dan membuat biaya logistik menjadi murah. Food estate bukanlah solusi yang tepat dalam mengatasi masalah pangan karena permasalahan pokok yaitu terjadinya daya beli yang melemah hal tersebut disebabkan karena tingginya harga pangan. Pemerintah selalu memanfaatkan lahan gambut dan lahan yang memiliki hayati tinggi, padahal lahan gambut memiliki peran dalam adaptasi yang terjadi pada perubahan iklim dan mitigasi. Terjadinya defortasi pada lahan gambut secara besar-besaran maka akan berdampak pada pelepasan jumlah karbon yang besar terhadap lingkungan. Kegagalan panen juga di sebabkan oleh tingkat keasaman dalam lahan gambut yang tinggi sehingga lahan gambut tidak begitu cocok digunakan sebagai lahan pertanian. Pemerintah tidak mendorong korporasi yang menguntungkan para petani sehinga nasib petani hanyalah sebagai buruh tani yang bekerja diatas tanahnya sendiri. Ketahanan pangan harus memperhatikan kedaulatan pangan dimana masyarakat dilibatkan secara langsung selama progam dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, D., Uksan, A., Kusuma, & Widodo, P. (2023). Analisis Konflik Lingkungan Hidup Pada Program Food Estate di Kalimantan Tengah ditinjau dari Prespektif Nationally Determined Contribution (NDC). Jurnal Kewarganegaraan.
Ayu, K. P. (2022). Kebijakan Perubahan Lahan Dalam Pembangunan Food Estate di Kalimantan Tengah. JISPAR.
Mispansyah, Nurunnisa, & Mulyawan, A. (2024). Kebijakan Hukum Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) Pada Lahan Gambut di Kalimantan Tengah Yang Berwawasan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah.
Mutia, A. A., Nurlinda, I., & Astriani, N. (2022). Pengaturan Pembangunan Food Estate Pada Kawasan Hutan Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia. Jurnal Bina Hukum Lingkungan.
Rasman, A., Theresia, E. S., & Aginda, M. F. (2023). Analisis Implementasi Program Food Estate sebagai solusi Ketahanan Pangan Indonesia. Holistic: Journal of Tropical Agriculture Seciences.
Sibuea, P. (2024). Menjaga Kedaulatan Pangan. Jurnal Riset Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian.