Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Jadi Guru, Jadilah Pekerja Bangunan, Jilid 2

14 Desember 2019   16:23 Diperbarui: 14 Desember 2019   16:24 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anis Hidayaytie, dok.pri

Maka kalau kemudian tulisan saya kadang menjadi ajang curhat mohonlah  dimaklumi.  Media ini,  mampu melegakan rasa yang saya miliki.  Lewat tulisan kadang kami berdiskusi apa dan bagaimana  harusnya saya menulis.  Atau apa isi yang sudah  saya tulis.  Bahkan ada orang yang sering kali Japri,  mengajak berdialog tentang  sesuatu  yang sudah saya tulis.  Termasuk  artikel saya kemarin bertajuk "Jangan Jadi Guru,  Jadilah Pekerja Bangunan".

Tulisan saya menjadi topik hangat di grup alumni organisasi masa kuliah dahulu.  Seorang sahabat yang saya biasa memanggil Mas Wawa dan sekarang  menjadi ketua MGMP kota Malang, sampai meng copas link nya. Lalu memberikan komentar dengan emo tangisan mengiringi "Dulu, aku menghadapi hal serupa. Bapakku seorang manol serabutan di pasar. Dari 8 saudara,  hanya aku yang nekat kuliah dengan biaya pas pasan. Sebulan disangoni 10 rb rupiah.
Tiga bulan pertama, aku ikut saudara istri kakak.  Sampai akhirnya setelah itu, jadi marbot di Masjid Ibnu Sina sampai lulus dengan terengah engah."

Tak hanya menumbuhkan kenangan haru biru jaman kuliah dahulu, bahkan ada yang secara khusus  menanggapi kata-kata sang Kajur yang berucap " Kalau ingin bekerja agar bisa mencukupi biaya kuliah, jadilah pekerja bangunan. Jangan guru. "

Sahabat saya yang juga menjabat sesuatu di PTN Kediri menuliskan, " Dia 'sok' menjadi pejabat, tidak paham nilai perjuangan kemanusiaan. Maaf, saya pernah jadi Wakil Ketua atau Wakil Rektor II bidang Keuangan. Ketika ada mahasiswa dengan indikasi riil punya ghiroh akademik baik,  sementara ekonomi keluarga belum stabil, pasti saya beri UKT 0 rupiah. Ada yang 400 ribu atau bidik misi yang tiap bulan dapat bantuan negara 1 juta. Sekarang tidak ada alasan tidak bisa kuliah. Alasan biaya,  negara lewat pimpinan PT bisa mengambil kebijakan itu.  Jika ada yatim ingin kuliah, kami  siap mengawal kelancaran studinya.  Semoga ada solusi Sobati Anis. Doa, ikhlas dan Sabar Ibu untuk anaknya insya Alloh pasti ada pertolongan Alloh."

Subhanallah,  artikel saya menuai perbincangan. Hingga pagi lepas fajar,  seorang  kakak tingkat,  Mas Ridwan, kakak tingkat dahulu,  menghubungi saya  secara pribadi.  

"Salam dek,  Apa lagi ngurus UKT?"
" Iya. "
"Apa sudah beres? Di jurusan apa dek."

Pertanyaannya saya jawab dengan cerita tentang anak  saya serta  sejumlah uang UKT yang harus dibayar. Saya katakan  bahwa saya malu mau melanjutkan.  Sudah tahu biaya kuliah  mahal kok tidak persiapan.
" Ngapain malu dek, Kalau berkenan saya pertemukan dengan WR 2, Wakil Rektor 2 bagaimana?"

Menggenang lagi dua bola mata saya.  Ini diluar dugaan. Ada yang menghubungi saya karena tulisan.  Begitu  dahsyat pengaruhnya hingga mampu membuat yang membaca empati. Saya yakin ini bagian dari Min Khaitsu Laa Yakhtasib,  arah tak disangka yang dikirimkan Tuhan. Sesak haru bahagia dada ini,  pintu kembali terbuka, tinggal melangkah saja.

Wakil Rektor 2 itu saya hubungi by chat,  welcome.  Anak saya diminta menghadap beliau Senen depan.  Indahnya silaturahmi,  berkahnya mampu  menumbuhkan empati,  hingga memberikan  jalan keluar bagi teman yang sedang dalam kesulitan.

Sebetulnya,  ketika akan menulis curhat saya kemarin,  ada kegelisahan  mendera. Takut dianggap lebay atau akan menyinggung seseorang.  Untuk itu saya usahakan tidak menyebut nama siapapun atau lembaganya.  Supaya tidak memantik tanggapan negatif.  Saya hanya  menulis agar orang tahu,  ada permasalahan di dalam pengurusan penyesuaian UKT. Siapa tahu ada orang  yang bernasib sama dengan saya,  kemudian bisa memberikan jalan keluar.

Dan betul,  lewat tulisan,  ada orang  yang tergerak hatinya memberikan dukungan. Ada komentar empati seperti ditulisTaufiq, ibu Nursini, Mbak Leya, dan beberapa Kompasianer lain. Juga saran apa yang harus  saya lakukan serta doa.  Keikhlasan mereka mendukung  sungguh  mengharukan.  Menumbuhkan spirit baru dalam diri  saya untuk  terus bergerak. Tidak putus asa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun