Membincangkan keringat petugas pemilu seakan tak ada habisnya. Banyak kisah di balik kesuksesan sebuah gelaran pemilihan langsung pun penghitungan suara. Yang nyata sedang hangat dibicarakan yakni boros nyawa.
Telah berulang kali saya mengikuti pemilihan umum langsung. Ada bentrokan mewarnai kampanye, ada singgungan antar pendukung kandidat atau partai peserta. Menghasilkan luka di badan itu biasa. Bahkan ada yang berjibaku bersedia membela dengan darah demi yang didukungnya. Maka bila ada berita meninggal karena bentrokan, itu satu hal yang wajar. Namun berita meninggalnya kawan karena kelelahan saat menjadi petugas sunguh sangatlah memiriskan. Yang diperjuangkan bukan perorangan atau kelompok pendukung, akan tetapi surat suara. Satu saja bermasalah akan mempengaruhi hasil penghitungan akhir.
Begitu beratnya perjuangan kawan-kawan petugas dalam mengemban amanat itu. Rela tak tidur, tak  pulang, kadang lupa mengganjal perut demi tuntasnya pekerjaan. Hal ini mendorong saya untuk mengetahui, apakah honorarium mereka sepadan dengan pekerjaan?
 KumparanNews 10 april 2019  merilis berita soal honor ini sudah diatur dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-118/MK.02/2016 tentang Penetapan Standar Biaya Honorarium Tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden, serta Tahapan Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali Kota Serentak.
Berdasarkan aturan tersebut, honor KPPS dianggarkan sebesar Rp 500 ribu untuk anggota dan Rp 550 ribu untuk ketua. Honor tersebut dibayarkan per kegiatan yang diagendakan dalam rangkaian pemilu.
Sementara itu, untuk pemungutan suara yang digelar bagi WNI di luar negeri, ada petugas KPPS Luar Negeri (KPPS-LN). Setiap anggota KPPS-LN mendapat honorarium sebesar Rp 6 juta, sedangkan untuk ketua mendapat Rp 6,5 juta.
Dalam hal ini saya akan menyoroti penghasilan yang diterima petugas KPPS dalam negeri mengingat jumlah korban terbanyak di dalam negeri, baik yang sakit maupun yang meninggal. Jumlah rata-rata 500 ribu itu memang telah diterima petugas begitu penghitungan suara selesai. Namun jumlahnya berkurang 30 ribu dipotong pajak. Seperti dikatakan salah satu teman KPPS saya. "Langsung saya terima bu, cair, untuk bekerja satu bulan 500 ribu dipotong 30 ribu, jadi saya terima bersih 470 ribu."
Jumlah itu, bagi mereka yang rata rata guru sukwan, sukarelawan memang besar, mengingat rerata honorarium mereka untuk mengajar satu bulan tidak sampai  500 ribu. Antara 250 sampai 350 ribu. Tapi bila dibandingkan upah buruh tani di desa saya, untuk hitungan 8 jam yang sehari 30 ribu, maka honorarium petugas itu jauh dari layak.
Sebagai guru mereka biasanya hanya bertugas dari jam 7 hingga jam 2 siang, buruh tani sampai adzan asar berkumandang dengan ada jeda istirahat tentunya. Sedangkan sebagai petugas mereka melaksanakan di luar jam itu, mendata, menetapkan DPT, menyetorkan data, verifikasi dan seterusnya. Sedangkan ketika pemilu berlangsung nonstop tanpa tidur hingga pleno penghitungan suara dilangsungkan. Tanpa uang lembur. Bagi saya itu sungguh tidak manusiawi.