Sekali lagi aku berbeda pandangan dengan seseorang yang berposisi terhormat dipuja masyarakat. Sebut saja beliau Mr. Right Man, mengajak kami penghuni komunitas untuk meng-iya-kan pendapatnya, mengaminkan maunya. Aku yang hanya 'rakyat biasa' tidak berkata apa-apa.
Ada perbedaan mendasar ketika dia menyeretku mengikuti pandangannya. Betul, bahwasannya dari posisi beliau sebuah benda itu berwarna hijau. Tapi, dari posisiku kelihatan berwarna kuning. Belum lagi, dari posisi temanku mungkin yang tampak hanyalah warna biru.
Ketika ada benda segitiga dengan tiga sisi warna yang berbeda, perlukah kita ngotot merasa paling benar dengan satu arah sisi pandang yang kita hadapi sementara orang lain yakin dengan pandangannya masing-masing?
Aku tak berani menyanggah atau berkata. Hanya diam menatap bar screen dengan gamang, ingin berpolemik, tidak jadi. Aku masih menghargai ketokohannya. Bila aku mendebat, tentu akan menjadi ajang vonis memvonis, judge menjudge bahwa aku telah terpengaruh faham sesat, berseberangan, tidak lagi patuh untuk memperjuangkan sebuah tujuan suci yang digadang-gadang akan menjadi  jembatan keberhasilan, sukses membesarkan kata-kata, simbol sebuah organisasi terkemuka.
Diamku mencoba memposisikan diri pada beliau. Seketika aku maklum pada pandangannya karena dia tahunya hanya warna itu. Hijau yang ada di hadapannya. Beliau tidak sedang berada di dua sisi lainnya, di kuning dan biru.
Mungkin, kalau aku ada di tempatnya pendapatku tentang wujud warna segitiga itu pun sama. Kepada temanku yang menghadap warna biru, kucoba tanyakan bagaimana sebaiknya menghadapi hal ini? Perlukah kita menunjukkan pandangan kita? Tapi, saya tidak ingin berpolemik.
"Sama, saya juga.
Jangankan berpolemik, diskusi yg sehat saja susah dijalani ketika mayoritas anggotanya bersikap, 'pokoke beliau itu pasti benar'."
Begitulah, ketika kebenaran versi sendiri lebih dominan dengan menyertakan kemenangan ego sebagai tujuan, maka prasangka buruk kepada yang berseberangan akan bermunculan sehingga tak jarang memunculkan bibit perselisihan yang berujung permusuhan.
Lalu dia menyambung dengan perkataan,
"Pada urusan dan konteks tertentu, saya mendengar, taat dan patuh. Tapi, tidak pada konteks yang lain."
Temanku benar, rasa benar menurut parameter diri sendiri haruslah dihancurkan manakala ego sedang akan menguasai pemikiran, menjadikan keinginan harus menang saat perdebatan.
Menghargai seseorang karena ketokohan bukan berarti harus taat dan patuh saja ketika diajak melakukan aksi di luar nalar sehat yang bisa memicu pergolakan. Kita memaklumi, menghargai, menghormati kebenaran versi mereka tanpa harus terlibat aksi dimana kita berada pada posisi pandang yang berbeda.
Kisah dua orang guru murid yakni Imam Malik sebagai guru dan Imam Syafi'i sebagai murid berikut bisa dijadikan pelajaran menarik.