Mohon tunggu...
ANGRA PRIYA
ANGRA PRIYA Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi Menonton Dan Review Film

Selanjutnya

Tutup

Film

Pengepungan di Bukit Duri: Ketika Kekerasan Antaretnis Lebih Mencekam dari Film Horor

19 April 2025   08:03 Diperbarui: 19 April 2025   08:03 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://m.imdb.com/title/tt33479839/releaseinfo/?ref_=tt_ov_rdat

Disutradarai oleh Joko Anwar, film ini bukan sekadar tontonan---tapi pengalaman. Ia mengajak kita menyelami dunia pendidikan yang porak-poranda oleh diskriminasi, kekerasan, dan trauma sejarah yang terus membekas. Pertanyaannya: apakah kita benar-benar sudah belajar dari masa lalu?

Mengambil latar waktu tahun 2009 dan 2027, film ini membentangkan narasi dua zaman yang menyatu oleh luka yang sama: diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Fokus utamanya adalah SMA Bukit Duri, yang perlahan berubah dari tempat belajar menjadi medan pertempuran berdarah antara murid dan guru. Edwin (Morgan Oey), seorang guru keturunan Tionghoa, menjadi simbol keteguhan yang terjebak dalam amarah kolektif generasi muda yang rusak. Lawannya, Jefri (Omara Esteghlal), merepresentasikan sisi gelap manusia ketika kemanusiaan direnggut oleh sistem yang gagal.

Sepanjang 118 menit, kita dibawa ke dalam labirin horor sosial: pelecehan seksual, kekerasan fisik, perundungan, hingga pembunuhan. Semua terang-terangan ditampilkan dengan sinematografi yang dinamis dan intens---kamera Joko Anwar tak pernah diam. Adegan pertarungan akhir antara Edwin dan Jefri jadi puncak ketegangan sekaligus metafora kekacauan bangsa yang belum selesai.

Bahaya yang Nyata dari Fiksi:

Apa yang bikin film ini lebih menyeramkan dari genre horor biasa? Jawabannya: karena ia terlalu dekat dengan kenyataan. Pengepungan di Bukit Duri bukan cuma tentang konflik antaretnis, tapi juga tentang sistem pendidikan yang gagal menanamkan nilai kemanusiaan. Di sekolah ini, murid bisa membunuh guru hanya karena perbedaan suku, dan masyarakat menganggap itu wajar.

Ketegangan bukan hanya dibangun dari scoring dan aksi brutal, tapi juga dari kenyataan pahit yang selama ini kita tutupi. Ketika masyarakat lebih memilih membakar rumah daripada hidup damai, saat itulah film ini menyodorkan pertanyaan tajam: sampai kapan kita hidup dengan dendam masa lalu?

Performa Para Pemain:

Morgan Oey tampil brilian, memancarkan ketegangan sekaligus empati. Omara Esteghlal sukses memunculkan aura "gila" yang mengancam setiap adegan. Satine Zaneta pun mencuri perhatian sebagai karakter perempuan yang kuat dan menyayat hati. Semua bermain dengan natural, emosional, dan terasa personal.

Joko Anwar membuktikan bahwa film Indonesia bisa menyentuh isu berat dengan pendekatan menghibur, tapi tetap menyisakan perenungan mendalam. Dari segi cerita, Pengepungan di Bukit Duri bukan film nyaman. Tapi justru karena nggak nyaman itulah, film ini jadi penting. Ia menampar, mengguncang, dan bikin kita sadar bahwa masalah rasisme belum benar-benar selesai di negeri ini.

Pengepungan di Bukit Duri bukan film buat semua orang---tapi justru karena itu, film ini harus ditonton. Ini adalah karya yang keras, pedih, dan penting. Kalau kamu masih berpikir rasisme itu hal kecil, film ini bakal memaksa kamu buat berpikir ulang. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, kita benar-benar mendengar suara-suara yang selama ini dibungkam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun