Baru-baru ini, Indonesia kembali dilanda kontroversi yang menguji nilai dasar kehidupan berbangsa yaitu larangan penggunaan jilbab bagi calon anggota Paskibraka di Bali. Masalah ini langsung menarik perhatian masyarakat karena dianggap melanggar prinsip toleransi dan keragaman dalam Pancasila. Melalui tulisan ini, saya ingin menyoroti bagaimana peristiwa tersebut menjadi ujian nyata terhadap komitmen bangsa dalam menerapkan Pancasila secara konsisten, terutama dalam menghargai kebebasan beragama dan menjunjung tinggi keberagaman.
Sebagaimana diketahui, paskibraka adalah simbol kehormatan, disiplin, dan patriotisme. Namun, ketika semangat persatuan diartikan menjadi keseragaman yang mengabaikan ekspresi keagamaan, kita perlu bertanya "apakah hal itu sejalan dengan nilai mulia Pancasila?"
Pada tahun-tahun sebelumnya, anggota Paskibraka diperbolehkan menggunakan hijab dalam upacara pengukuhan maupun pengibaran bendera pada 17 Agustus. Namun, BPIP memutuskan untuk menyeragamkan tata pakaian dan sikap tampang Paskibraka pada 2024, sebagaimana yang termaktub dalam Surat Edaran Deputi Diklat Nomor 1 Tahun 2024. Dalam surat edaran tersebut, tidak terdapat pilihan berpakaian hijab bagi anggota Paskibraka yang menggunakan hijab.Â
Larangan menggunakan hijab Islam atas alasan "seragam nasional" atau "penyeragaman penampilan" menunjukkan kesalahan dalam memahami konsep persatuan sejati. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga Pancasila bukan berarti menghapus identitas setiap individu, melainkan menyelaraskan perbedaan dalam satu ikatan kebangsaan serta menjunjung tinggi toleransi. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.". Pasal ini menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi setiap warga negara, tanpa paksaan atau diskriminasi. Penggunaan hijab bagi seorang muslimah bukan semata pilihan estetika, melainkan bagian keyakinan agama yang dijamin oleh Konstitusi dan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, kebijakan yang melarang hijab dalam kegiatan negara seperti upacara bendera patut dikritik karena berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara.Â
Pancasila, terutama sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa", mengakui adanya berbagai agama dan keyakinan. Kebebasan dalam menjalankan perintah agama adalah hak dasar yang harus dijamin, bukan justru dibatasi. Selain itu, sila kedua dalam Pancasila, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", mengajarkan kita untuk menghormati martabat manusia termasuk kebebasan dalam berkeyakinan. Namun parahnya, dalam kasus paskibraka ini, kita dapat melihat adanya benturan antara idealisme Pancasila dengan praktik birokrasi yang masih abai terhadap prinsip-prinsip Pancasila. Larangan menggunakan hijab tidak hanya mencederai aspek kebebasan beragama, tetapi juga mengabaikan keberagaman budaya yang dimiliki bangsa. Lebih jauh, alasan "menghormati kearifan lokal" yang dijadikan dasar dalam kasus ini juga perlu dikaji ulang. Menghormati budaya lokal adalah hal yang mulia, namun tidak boleh menjadi justifikasi untuk mengabaikan hak-hak dasar individu yang dilindungi konstitusi.
Kasus ini menampilkan kenyataan pahit karena toleransi di Indonesia sering kali bersifat selektif. Kita cepat menuntut penghormatan terhadap budaya lokal atau mayoritas, tetapi cukup lambat dalam melindungi hak-hak minoritas atau ekspresi individu. Padahal, keberagaman adalah kekuatan yang dimiliki Indonesia. Ketegasan dalam menghormati kebebasan beragama justru menjadi penanda kedewasaan demokrasi kita. Dalam konteks ini, pengamalan sila ketiga Pancasila harus mencakup kesadaran dan penerimaan terhadap perbedaan dalam ekspresi keagamaan, termasuk dalam arena kenegaraan seperti paskibraka. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu membedakan antara "menyeragamkan" dengan "mempersatukan". Persatuan yang sejati tidak lahir dari peniadaan perbedaan, melainkan dari penerimaan dan penghormatan atas keberagaman itu sendiri.
Polemik ini selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah, khususnya dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan keberagamaan. Pemerintah pusat perlu mengeluarkan pedoman nasional yang mengatur bahwa kebebasan beragama harus tetap dihormati dalam segala kegiatan resmi, termasuk paskibraka. Selain itu, masyarakat juga harus lebih aktif dan selektif dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang berpotensi melanggar nilai nilai yang ada dalam Pancasila. Edukasi tentang makna sebenarnya dari toleransi, keberagaman, dan persatuan perlu digalakkan dan ditegaskan, khususnya di lingkungan sekolah dan lembaga pemerintahan.Â
Kasus larangan penggunaan hijab dalam paskibraka di Bali menunjukkan bahwa perjalanan bangsa dalam mengamalkan Pancasila masih harus menghadapi tantangan yang serius. Komitmen terhadap toleransi dan keberagaman harus ditegakkan secara konsisten tanpa diskriminasi. Kita sebagai masyarakat dan seluruh elemen bangsa harus kembali kepada semangat Pancasila yang asli yaitu menerima keberagaman sebagai kodrat bangsa dan menjadikannya kekuatan, bukan ancaman yang dapat meruntuhkan bangsa. Hanya dengan cara itulah Indonesia dapat terus berdiri kokoh sebagai negara yang beradab, adil, dan berke-Tuhan-an. Sebagaimana para pendiri bangsa pernah berpesan mengenai Indonesia bukan milik satu golongan, agama, atau budaya saja. Indonesia adalah milik semua dan memiliki keberagaman yang seharusnya digunakan untuk alat pemersatu bangsa.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI