Oleh Syamsul Yakin dan Anggi Zaharani (dosen dan mahasiswa)
Mengapa dakwah tidak cukup hanya dipahami sebagai kegiatan menyampaikan ajaran agama? Di sinilah peran filsafat dakwah menjadi penting, karena ia mengajak kita untuk melihat dakwah dari sisi yang lebih dalam dan reflektif. Filsafat dakwah bukan hanya soal praktik, tapi juga tentang memahami dasar-dasar pemikiran, tujuan, dan nilai yang melandasi dakwah itu sendiri. Pendekatan ini memperkaya khazanah ilmu dakwah sekaligus memberi sumbangan berarti bagi dunia filsafat Islam.
Filsafat dakwah melihat aktivitas dakwah dari tiga sudut pandang: ontologi (hakikat), epistemologi (sumber pengetahuan), dan aksiologi (nilai atau manfaat). Secara ontologis, dakwah dipahami sebagai bentuk komunikasi spiritual antara seorang dai dan mad'u. Dalam proses ini, sang dai menyampaikan pesan ilahi yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadits, dengan harapan muncul perubahan positif dalam diri mad'u.
Dari sisi epistemologis, dakwah bersumber dari wahyu, yakni ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi. Proses pengetahuan ini berjalan melalui metode bayani, yaitu menjelaskan makna satu teks dengan teks lain, baik antara ayat dengan ayat maupun Hadits dengan Hadits. Dengan pendekatan ini, pesan dakwah menjadi lebih kuat secara keilmuan dan terarah secara pemahaman.
Secara aksiologis atau nilai, dakwah membawa manfaat besar bagi berbagai pihak. Bagi seorang dai, dakwah menjadi jalan pahala dan pelaksanaan tanggung jawab. Bagi mad'u, dakwah adalah sarana untuk mencari ilmu dan memperbaiki diri. Dan lebih luas lagi, dakwah berkontribusi menjaga keseimbangan tatanan sosial dan bahkan kosmos. Dakwah, dalam makna ini, bukan sekadar ajakan, tapi energi yang menyeimbangkan kehidupan.
Filsafat dakwah juga memancing refleksi yang lebih tajam, seperti: apakah kemampuan berdakwah merupakan karunia sejak lahir, atau hasil dari pengalaman hidup? Apakah respons mad'u terhadap dakwah lebih dipengaruhi oleh nalar, atau oleh emosi dan perasaan? Pertanyaanpertanyaan semacam ini memperlihatkan bahwa filsafat dakwah tak hanya mengkaji hubungan sosial, tetapi juga menyelami dimensi psikologis dan spiritual manusia.
Dengan kata lain, filsafat dakwah memperluas cakrawala berpikir kita tentang dakwah. Ia tidak berhenti pada apa dan bagaimana dakwah dilakukan, tetapi juga menjawab pertanyaan mengapa dakwah itu penting. Dari sinilah, dakwah menjadi lebih dari sekadar aktivitas keagamaan---ia adalah proses pemanusiaan, pencerahan, dan pengembalian manusia kepada fitrahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI