Inilah kenapa menurut saya, kunci dari menjadi orang tua yang baik bukan “punya banyak uang”, tapi punya komitmen.
Komitmen untuk terus belajar saat merasa tak tahu. Komitmen untuk tetap hadir walau lelah. Komitmen untuk tidak lari saat keadaan tak sesuai rencana. Komitmen yang tidak hanya muncul saat hidup sedang ramah, tapi juga saat badai datang menghantam.
Anak tidak hanya butuh uang. Anak butuh orang tua yang bisa memberi rasa aman, teladan, dan perhatian. Itu semua tidak bisa dibeli dengan kekayaan. Seringkali, justru anak-anak yang tumbuh di keluarga sederhana yang tiap hari harus saling menguatkan, saling bantu, saling menghibur dalam keterbatasan lahir sebagai pribadi yang tangguh, penuh empati, dan tahu bagaimana menghargai hidup.
Saya tahu, sebagian orang yang vokal dengan pandangan “jangan punya anak kalau miskin” mungkin menyimpan luka. Mungkin mereka lahir dalam kondisi ekonomi sulit dan merasa tak ingin anak-anak lain mengalami hal yang sama. Tapi rasa trauma itu seharusnya tidak melahirkan sikap menghakimi, apalagi mengeneralisasi bahwa kemiskinan otomatis membuat seseorang tidak layak menjadi orang tua, yang justru melanggenggkan narasi ketidakadilan.
Bahayanya Jika Pandangan Ini Terus Berkembang Tanpa Critical Thinking
Ketika narasi “harus kaya dulu baru boleh punya anak” terus diulang tanpa kritis, tanpa empati, dan tanpa konteks, kita sedang menciptakan dunia yang dingin, tempat mimpi dan cinta hanya boleh dimiliki oleh mereka yang “mapan”. Lama-lama, kita bisa jadi masyarakat yang tak sadar sedang membenarkan diskriminasi kelas. Seolah hanya mereka yang punya rumah mewah dan rekening tebal yang pantas bermimpi tentang keluarga, tentang menjadi orang tua, tentang punya cinta yang tumbuh dalam bentuk anak-anak.
Padahal, sejarah dan kenyataan hari ini berkali-kali membuktikan begitu banyak talenta, pemikir besar, seniman hebat, dan pemimpin yang inspiratif justru lahir dari keluarga yang secara ekonomi pas-pasan. Mereka yang sejak kecil terbiasa hidup dalam keterbatasan seringkali tumbuh dengan daya juang yang luar biasa. Mereka belajar bersyukur, bertahan, dan berusaha keras bukan karena diajarkan lewat teori, tapi karena itulah hidup mereka setiap hari. Dan dari situ, lahirlah karakter-karakter tangguh yang mampu mengubah keadaan. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain.
Ini bukan hanya soal opini sosial. Ini soal hak dasar manusia untuk mencintai, membangun kehidupan, dan bertumbuh dalam kebersamaan. Ketika kita menolak gagasan bahwa orang dengan kondisi ekonomi terbatas juga punya hak untuk bermimpi dan membangun keluarga, kita sedang mencabut perlahan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar.
Lebih dari itu, kita sedang mengikis rasa tanggung jawab bersama sebagai sebuah masyarakat. Anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak bisa dan tidak seharusnya dibebankan sepenuhnya kepada orang tuanya. Ada peran lingkungan. Ada peran negara. Ada sistem pendidikan, layanan kesehatan, dan jaring pengaman sosial yang seharusnya hadir bukan hanya untuk mereka yang mampu membayar, tapi justru untuk mereka yang paling rentan.
Kita juga harus lebih terbuka pada pertanyaan seperti ini. Bagaimana jika bibit-bibit talenta terbaik di suatu bidang lahir dari keluarga kurang mampu dan gagal berkembang hanya karena kurangnya dukungan dari lingkungan dan negara?
Jadi, Apa yang Sebenarnya Kita Takutkan?
Mungkin, yang perlu kita tanyakan bukan hanya “apakah kita mampu membiayai anak?”, tapi juga “apakah kita siap menjadi dewasa?”
Bisa jadi, di balik pernyataan “harus kaya dulu”, ada ketakutan-ketakutan yang tak terucap.