Mohon tunggu...
Bang Asa
Bang Asa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer Terpopuler 2010

Tunggu beta bale, sodara!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Andi" Itu Bukan Semata-mata Turunan

23 Juni 2010   21:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:20 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="alignleft" width="380" caption="Ilustrasi: Penulis bersama Datu Luwu dan Makole Pamona"][/caption] PERNAH ada kerabat yang protes nama depan saya lantaran saya lebih suka menggunakan "Andy". Mereka mempertanyakan, kenapa bukan "Andi"? Bukankah "Andi" itu gelar yang menunjukkan strata sosial kebangsawanan Bugis? Yang melengket di depan nama sejak lahir dan akan bertengger selama hayat masih di kandung badan? Bagi sebagian bangsawan Bugis, mungkin gelar seperti ini dianggap penting untuk menunjukkan kelasnya. Tapi bagi saya, tergantung konteksnya. Kalau dalam pergaulan sehari-hari di dunia nyata, bukankah lingkungan sosial tempat kita berinteraksi akan mengetahui dengan sendirinya meski tak perlu memamerkan dada? Akan tetapi di dunia maya, siapa pula yang mau pusingin hal seperti ini? Gak ada urusan itu! Sejak kecil, saya biasa mendengar pesan orang-orang tua yang  mengatakan, jika ada yang suka mengaku-aku sebagai bangsawan dan selalu menonjol-nonjolkan gelar kebangsawanannya, biasanya itu bukanlah bangsawan murni. Mereka biasanya selalu hendak menonjolkan ke-"aku"-annya karena takut tidak diakui. Padahal esensi dari gelar kebangsawan termasuk di dalamnya "Andi" bukanlah dari gelar itu sendiri, melainkan dari perbuatannya. Gelar kebangsawanan itu juga memiliki kadar, laiknya emas. Emas, selain dinilai dari beratnya, juga dilihat dari jumlah kadarnya. Contohnya, ada emas 18, 22, 23 atau 24 karat. Tapi sebutannya sama-sama "emas". Begitu pula dengan bangsawan . Kadarnya secara materiil biasanya dapat ditelusuri dari silsilah keluarganya. Di Sulawesi Selatan, gelar Andi ditentukan oleh hukum adat waris. Hukum ini sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku di daerah ini sejak dulu, yaitu prinsip patrilineal. Contohnya, seorang yang lahir dari ayah bangsawan dengan gelar “Andi”, maka dia pun boleh menggunakan gelar itu di depan namanya. Jika kelak nanti menikah, maka dia akan diberi nama tambahan lagi. Istilahnya “pattellareng”, seperti “Petta” atau “Opu” . Namun jika seseorang yang hanya memiliki ibu bangsawan yang bergelar “Andi” sedangkan ayah tidak, maka dia tidak berhak menggunakan gelar “Andi ”. Namun rambu-rambu itu kini banyak dilanggar. Banyak orang Bugis memburu gelar dengan berbagai cara untuk menaikkan prestise diri di hadapan masyarakat. Ada orang yang jika merasa sudah mapan, punya kekuasaan, pangkat dan jabatan, sederet gelar akademik, tapi merasa tidak lengkap jika tidak tak memiliki gelar kebangsawanan atau gelar adat seperti ini. Terus terang, saya kadang suka heran melihat fenomena seperti ini.  Ada orang yang yang di daerah asalnya sendiri tidak dikenal sebagai "Andi", tapi begitu muncul di pentas nasional, nama depannya sudah pake embel-embel "Andi" segala. Kacau beneerrr, bro..! Hukum adat sekarang sepertinya digilas tuntas oleh peradaban baru: kekuasaan dan sandang pangan. Pengaturan adat soal strata sosial semakin tak jelas. Sayangnya, tokoh-tokoh adat lokal seolah tak berkutik. Ada juga di antaranya malah tutup mata,  seolah melegitimasi munculnya gelar “kajja-kajja” alias bohong-bohongan seperti ini. Ada cerita tentang seorang pejabat di Sulsel. Sepengetahuan saya dia ini bukanlah "Andi". Memang sih, ibunya adalah bangsawan tapi ayahnya tidak. Istilahnya, “pettu welareng”. Dalam prinsip hukum adat patrilineal, walaupun, misalnya dari garis keturunan ibu sendiri merupakan anak langsung dari seorang raja sekalipun, jika ayahnya bukanlah bangsawan maka gelar "Andi" itu tak boleh lagi melekat pada si anak. Artinya si pejabat tadi semestinya tak boleh menggunakan itu. Akan tetapi, si pejabat ini kalau dipanggil sepertinya pura-pura tak dengar jika tidak ikut "Andi"-nya. Raut mukanya  seperti bengkok. Bahkan pernah suatu ketika, si pejabat ini mendamprat seseorang bawahannya lantaran tidak memanggilnya "Pak Andi"  atau "Puang", tetapi "Pak Haji". Terus terang saya merasa heran, padahal si pejabat ini memang sudah haji. Waduuuhhhh...! Saya pikir, ini pejabat kok seorang muslim yang bergelar "haji" tapi tak sudi dipanggil "Pak Haji". Ia justru baru "ngeh"  jika dipanggil dengan sebutan "Pak Andi" atau "Puang". Si pejabat tadi senang sekali dengan saya. Bukan apa-apa, ini gara-gara saya suka memanggilnya "Pak Andi" di depan banyak orang. Padahal sebenarnya maksud saya untuk menyindirnya. Tapi alih-alih tersinggung, malah dia sangat menikmatinya. Bahkan sepertinya dia orgasme untuk itu. Si pejabat ini kalau ngomong dengan saya menyebut nama saya dengan "Opu" atau "Puang". Kemarin, di sebuah cafe, saya secara tak sengaja bersua dengan si pejabat itu. Saya berikan dia hadiah buku karya Mariska Lubis, "Wahai Pemimpin Bangsa!!! Belajar dari Seks, Dong!!" . Pada sampulnya,  kan ada nama saya tercantum sebagai editor. Dengan "muher" alias muka heran, si pejabat tadi memelototi  nama saya yang ada di sampul buku. "Kenapa namanya salah cetak? Kok, Andy (Syoekry Amal), bukan Andi (Syoekry Amal), Puang?" "Ooooo..., itu bukan salah cetak, saya sendiri yang order gituu, kok..." "Kenapa, Puang?" "Yaaa..., suka aja.  Apalagi saya ini kan belum mampu membawa gelar besar seperti itu. Gak bebas, kalo pake Andy kan lebih enak, lebih keren. Rasanya seperti Andy Lau atau Andy F Noya..., ha ha haaaa... Iya kan??" "Tapi, Puang...." "Sudahlah, terus terang gelar Andi itu berat bawanya. Andi itu kan bukan semata-mata karena turunan semata, tetapi juga perbuatan. Kalau saya ini kan moralnya masih sangat rapuh, masih kadang gila, dugem, dll. Andi itu harus satu kata dengan perbuatan. Kalo diberikan amanah, dia laksanakan dengan sebaik-baiknya, gak lirik sana lirik sini. Gak suka menjilat. Kalo ada Andi yang demikian, itu namanya Andi Nurpati, eh, salah, maksudnya Andi bahlul..., gimana? Ha ha haaa..." Muka si pejabat tadi mesem-mesem. "Iya-ya.. Andi Nurpati kok gitu, sihhhh..." Dalam hati saya, satu kosong. Ente ini sebenarnya setali tiga uang. Doyan dipanggil "Pak Andi" padahal bukan "Andi". Gak ngeh kalau dipanggil "Pak Haji" padahal sudah haji. Wallahua'lambissawab Salam Andi Nurpati, eh, maksudnya Andi bahlull... , ANDY SYOEKRY AMAL (Follow kami di TWITTER dan  FACEBOOK) Jangan Lewatkan artikel-artikel menarik Mariska Lubis , di SINI Baca juga 10 Tulisan Sebelumnya:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun