Mohon tunggu...
Didik Hendrix
Didik Hendrix Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Cucu jauh Jimmi Hendrix yang peduli rakyat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bangsa dengan Tren Jual Agama

29 April 2016   09:04 Diperbarui: 29 April 2016   09:11 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://3.bp.blogspot.com/-jGWJPkubTpw/VgveB4F4ymI/AAAAAAAABR4/LDajlerptYI/s320/negara.jpg



nation.com.pk

Tidak ada sahabat yang sejati, yang ada hanya kepentingan pribadi.” Itulah pertunjukan menarik yang tengah mewarnai pemerintahan Indonesia sekarang ini. Pertunjukan apik yang telah menggiring kondisi Indonesia menjadi sekarang ini. Tapi sedikit dari kita yang menyadari lakon dibalik layar dalang panggung sebenarnya, padahal kita tengah berada di dalam naskah cerita ini.

Sedikit gambaran, dengan gamblang disebutkan dalam konstitusi bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia. Konstitusi juga jelas dan tegas menggariskan bahwa setiap warga negara berhak menganut agama dan keyakinan serta mengekspresikanya dalam kehidupan sehari – hari.

Tapi kita perlu menegaskan suatu hal disini, bahwa kewajiban tersebut belum sepenuhnya terlaksana. Negara tak jarang absen pada kisruh dan penyudutan kaum minoritas oleh mayoritas. Minoritas yang merupakan tetap warga Indonesia yang berhak mendapatkan kedaulatanya, namun ketika hak hak sebagian rakyat penganut keyakinan tertentu dirampas, negara sering kali absen dalam pengayoman. Sehingga terkadang negara terkesan memfasilitasi kelompok intoleran untuk menegaskan garis gap antar kalangan.

http://www.wayangan.com/wp-content/uploads/2015/11/wayang-kulit-2.jpg
http://www.wayangan.com/wp-content/uploads/2015/11/wayang-kulit-2.jpg

www.wayang.com 

Pertanyaanya, mengapa negara mentolerir? Salah satunya, karena anggota – anggota tubuh sendiri, yang memosisikan agama sebagai alat untuk mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok. Memang, agama itu layaknya candu. Layaknya nasi bagi tubuh manusia. Tapi hal itu pula yang menjadi titip kelemahan sasaran empuk pukulan keras, yang diberdayakan (lebih tepatnya dipakai) oleh negara (oknum). Mereka menjual agama demi kepentingan politik, bahkan tak jarang telah terikat kontrak tertentu, menandatangani deal-deal, saling menjanjikan keuntungan, dengan kelompok-kelompok yang membantu perebutan panggung kekuasaan di pemilihan. Sebagai imbal jasa kepada kelompok tadi, kepala terpilih akhirnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas namun menguntukan bagi kelompok mayoritas.

Episode – episode ini bisa kita nikmati di berbagai daerah di Indonesia. Yang tidak pandang tingkatan daerah. Representasi lakonya tidak sempit hanya di bidang pemerintahan namun juga keamanan. Di Indonesia tidak semua masyarakat memahami arti sebenarnya agama. Sehingga senggolan sedikit saja bisa menggiring dan memengaruhi opini masyarakat. Secara rasional saja, bukankah ini terdengar bahwa agama menjadi komoditas dan sarana paling efektif dalam penggalangan masyarakat? Ini merupakan penyelewengan baik dari prinsip dan ideologi bangsa. Agama tak selayaknya diperdagangkan demi kepentingan politik. Kemuliaan agama dan derajat tinggi agama malah dipandang sebagai jualan politik.

Kita hendaknya tidak merasa menjadi tokoh figuran di pagelaran ini. Kitalah yang tanpa disadari menjadi tokoh utama penggerak cerita. Perlu kita ingat, berdasarkan pilaar pilar kebangsaan negara, sudah menjadi kewajiban kita dan seluruh elemen bangsa untuk menjaga keberagaman ini. Karena tanggung jawab kita bersama inilah yang akan menentukan masa depan Indonesia di masa mendatang. Kita perlu bangkit dari kelarutan dalam pusaran ini. Kitalah yang memiliki kekuatan dalam mengubah arus dan gejolak kondisi ini.

Tergantung, apakah anda mau tetap dilindas hanya demi kepala kepala (oknum) yang mengutamakan kepentingan pribadi. Dimanakah sisi anda sekarang ini? (and)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun