Banyak dari kita mungkin pernah mendengar nama Oei Hui-lan sekilas, entah dalam buku sejarah, dokumenter, atau bahkan dari cerita keluarga. Namun hanya sedikit yang mengenal sosoknya secara mendalam. Di balik namanya yang terdengar asing dan berlatar masa lalu, tersimpan kisah yang begitu luar biasa dan penuh inspirasi.
Ia adalah perempuan kelahiran Semarang yang tumbuh dalam kemewahan, namun tak sekadar menikmati warisan. ia menjelma menjadi tokoh berpengaruh di panggung internasional. Tak tanggung-tanggung, Oei Hui-lan menjadi istri dari Wellington Koo, Presiden pertama Republik Tiongkok, dan sekaligus menjadi wajah baru Tiongkok di mata dunia.
Kisah hidupnya bukan sekadar cerita cinta atau kisah sosialita kaya raya. Ia adalah potret perempuan Asia yang berani melangkah keluar dari zona nyamannya, melintasi batas-batas geografis, sosial, dan budaya. Kisahnya adalah narasi penuh keteguhan, kecerdasan, dan pencarian makna hidup di tengah dunia yang terus berubah.
Dari Istana Semarang ke Dunia Internasional
Oei Hui-lan lahir pada 21 Desember 1889 di Semarang, di tengah-tengah keluarga terkaya di Hindia Belanda saat itu. Ayahnya, Oei Tiong Ham, dikenal sebagai “Raja Gula dari Asia” berkat keberhasilannya dalam membangun kerajaan bisnis yang meliputi perdagangan gula, kopi, hasil bumi, dan berbagai komoditas penting.
Rumah keluarga mereka lebih menyerupai istana megah, lengkap dengan lebih dari dua ratus kamar, kebun binatang pribadi, kendaraan impor, serta pelayan dari berbagai negara.
Namun di balik kemegahan tersebut, Hui-lan tidak merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya. Kehidupannya lebih banyak dihabiskan bersama guru privat asal Eropa dan Australia yang mendidiknya sejak kecil. Ia menguasai enam bahasa asing, Melayu, Belanda, Inggris, Prancis, Mandarin, dan Hokkien, yang menjadi aset luar biasa dalam kehidupannya kelak.
Sejak usia muda, Hui-lan juga sudah terbiasa membaca surat kabar internasional dan mengikuti perkembangan dunia, sesuatu yang langka bagi perempuan pada zamannya.
Cinta Pertama: Sebuah Luka yang Menguatkan
Masa remaja, Hui-lan pernah merasakan indahnya cinta pertama. Saat berada di Singapura, ia bertemu dengan seorang pria bernama Siau Kwan yang menolongnya ketika tersesat saat berkuda. Pertemuan singkat itu berkembang menjadi kisah cinta yang dalam.
Namun takdir berkata lain. Setelah diketahui bahwa pria tersebut telah menikah, ayahnya langsung memutuskan hubungan mereka secara sepihak.
Peristiwa ini sangat mengguncang perasaan Hui-lan. Ia merasa dikhianati dan kehilangan. Luka emosional dari kisah cinta pertamanya ini menjadi pelajaran hidup yang berharga. Dari peristiwa itulah ia mulai menyadari bahwa cinta seringkali berbenturan dengan kenyataan sosial, dan bahwa perempuan harus memiliki kekuatan emosional untuk menghadapi ketidakpastian hidup.