Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada 2018, Menggugat Kuasa DPP Partai Politik

16 Januari 2018   10:09 Diperbarui: 16 Januari 2018   10:13 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tahun 2018 memasuki tahap pendaftaran bakal calon kepala daerah. KPU Daerah menetapkan tanggal 8-10 Januari 2018 sebagai waktu pendaftaran.

Dari data KPU RI, pendaftaran pertama pada tanggal 8 Januari 2018. Sembilan pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur mendaftar di tujuh provinsi. 47 pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati di 36 Kabupaten. Dan, 15 Pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota di 11 Kota. Jadi, KPU mencatat 54 dari 171 daerah telah memiliki bakal calon.

Untuk hari kedua, Selasa, 9 Januari 2018, masyarakat masih menunggu berapa data pendaftar calon kepala daerah. Meskipun begitu, hari pertama pendaftaran calon kepala daerah masih menyisakan masalah klasik. Yaitu persoalan dukungan partai politik. Syarat dukungan parpol seperti istilah "Ngeri-ngeri sedap".

Kenapa? Karena parpol sudah mahir dalam permainan dukung-mendukung atau bahkan menarik dukungan. Kadang-kadang, ada parpol yang mendukung. Tetapi tidak ikut mendaftarkan pasangan calon kepala daerah ke kantor KPU.

Sebagai contoh sederhana, PKS mengurungkan niat mendukung Deddy Mizwar. Perdebatan antara Deddy dan PKS pun sempat heboh di twitter. Selain itu, pergantian puncuk pimpinan Partai Golkar merembes kepada lepasnya dukungan kepada Ridwan Kamil.

Masalah serupa terjadi di Pilgub Sumatera Utara. Partai-partai yang semula siap mendukung Tengku Erry Nuradi (petahana), malah mengalihkan rekomendasi kepada pasangan Letjen Edy Rachmayadi -- Musa Rajekshah. Padahal sang Pangkostrad ini belum pernah berpartai. Tetapi, Koalisi partai lebih memilihnya daripada sang Gubernur.

Oleh sebab itu, perlu kiranya partai politik menjawab pertanyaan, "Apakah partai memiliki mekanisme penokohan kader di daerah?"

Pertanyaan ini muncul seiring dengan hadirnya calon kepala daerah non kader pada Pilkada 2018. Kehadiran mereka menggusur para tokoh lokal menimbulkan dilema. Bagaimana mungkin tokoh lokal yang selama ini mengabdi untuk partai dan masyarakat tersungkur. Kalah oleh para tokoh dengan elektabilitas tinggi.

Atau masalah tokoh Jakarta yang pulang kampung. Seakan-akan, jabatan itu sudah kena kapling saja. Tokoh daerah tinggal menerima nasib. Siapa juga yang berani melawan tokoh nasional. Apalagi, kalau tokoh nasional tersebut adalah elit partai.
Jadi, Partai terkesan meniadakan niat baik peniptaan tokoh bangsa. Mereka yang berasal dari internal dan mengabdi dalam kegiatan kepartaian. Sehingga, partai bekerja secara pragmatis saja. Mana yang suaranya kuat dan populer. Maka, partai mengusung orang tersebut.

Urusan dengan kader dan pengurus cabang, nanti saja dipikirin. Kalau melawan, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik tinggal mengganti atau memecat yang melawan titah Ketua Umum.

Kader Menggugat
Dengan demikian, kader partai harus berani mempertanyakan keseriusan Ketua Umum memimpin organisasi. Jangan asal mengeluarkan rekomendasi. Tanpa bertanya terlebih dahulu kepada anggota partai di akar rumput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun