Mohon tunggu...
Andriana Chris
Andriana Chris Mohon Tunggu... Freelancer - God's Perfect Creation

Memayu Hayuning Bawono

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Sudah Umur Segitu Kok Belum Nikah?" Apa Nggak Ada Pertanyaan Lain?

26 Februari 2020   17:44 Diperbarui: 22 Juni 2020   23:09 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.altascapacidadesytalentos.com

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang bahagia, dan ingin menjalani kehidupan dengan maksimal. Seperti kata pepatah "you only live once" jadi sebisa mungkin manusia akan memilih untuk menjalani hidupnya dengan maksimal. Tetapi pada dasarnya setiap manusia itu sebenarnya punya standar masing-masing bagaimana hidup bahagia. 

Sebagai seorang perempuan yang hidup di dalam masyarakat yang memiliki nilai tradisi yang kuat, standar bahagia seperti sudah terukur atau memiliki pakem nya sendiri. Tidak hanya ukuran kebahagiaannya tetapi nilai sebagai perempuan yang dipandang sempurna memiliki standar yang sudah baku. Meskipun sedikit demi sedikit sudah bergeser tetapi standar itu masih saja melekat pada perempuan, apalagi seperti saya perempuan Jawa yang terbiasa hidup diantara nilai dan tradisi yang sudah ada sejak dahulu.

Kapan nikah? Pertanyaan yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat kita. Ketika seorang perempuan yang sudah memasuki usia 20an, dan sudah bekerja pasti seringkali mendapat pertanyaan tersebut. Terlebih lagi ketika teman-teman sebaya sudah memutuskan untuk menikah, pertanyaan tersebut bahkan akan semakin sering terlontar dari orang-orang sekitar. 

Ketika beberapa perempuan memutuskan untuk memilih jalan yang berbeda dari teman-teman sebayanya biasanya akan mendapat cemooh atau setidaknya dipandang sebelah mata. Saya memutuskan untuk merantau jauh dari kampung halaman saya kemudian saya  kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi, memilih jalan yang sedikit berbeda dari rekan-rekan saya yang saat ini rata-rata sudah menikah dan memiliki keturunan. 

Saya mendapat kecaman dari beberapa pihak karena pilihan saya. "Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya cuma di dapur dan mengurus anak, udah umur segitu belom kawin masih mau nyari apa sih, itu temen-temenmu udah ada buntutnya lho" sederet pertanyaan yang cukup tajam bahkan diantaranya juga datang dari kaum perempuan. Padahal menempuh pendidikan setinggi mungkin adalah bentuk aktualisasi diri saya sebagai manusia, karena saya menginginkan dan menikmati apa yang saya kerjakan saat ini, dan tentunya saya bahagia dengan apa yang saya jalani. 

Menikah, membangun keluarga dan memiliki keturunan bagi sebagian orang adalah achievement dan merupakan suatu keharusan bagi perempuan usia 23-25an untuk menikah dan memiliki keturunan. Jika lebih dari itu perempuan akan dianggap "tidak laku". Padahal perempuan adalah manusia dengan martabat yang sama dengan manusia lainnya. 

Mengutip pendapat dari Inez Kristanti seorang pakar di bidang psikologi dan seksualitas, menikah itu bukan sebuah pencapaian atau perlombaan, jadi bukan berarti yang memutuskan menikah nanti dan memilih menempuh pendidikan tinggi bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak laku.  We are human, bukan barang yang diperjual belikan toh, jadi tidak ada istilah "tidak laku"

Menikah kan soal kesiapan mental dan non mental, bukan sekedar gaya hidup. Saya setuju dengan pendapat Inez. Menikah bukan sebuah pencapaian atau kompetisi, kalau memang mau menikah cepat silahkan tetapi tidak perlu mengusik keputusan dan jalan hidup orang lain. Apakah sudah ada jaminan ketika seorang perempuan yang menikah cepat sudah pasti bahagia? Sesekali saya juga bertanya apa sih manfaat ketika bertanya pada orang lain "kapan nikah". Pernahkah sejenak berfikir, mungkin orang yang sedang kalian tanya atau usik hidupnya sedang berjuang untuk pulih dari trauma atau luka batin yang cukup berat, mungkin mereka sedang menikmati kebahagiaan bersama orang-orang terdekat mereka, mungkin mereka sedang menata kembali hidup mereka, atau mungkin mereka sedang memperjuangkan sesuatu yang lebih berharga bagi mereka sehingga mereka memutuskan untuk tidak cepat-cepat menikah. "Tapi kan itu cuma basa-basi, aku kan peduli sebagai sesama perempuan", tahu nggak sih hal itu sama sekali sudah nggak banget. Akan lebih indah ketika kita melontarkan dukungan dan kalimat positif, misalnya "semoga sukses, semoga tercapai apa yang disemogakan ya, semoga selalu bahagia, aku doakan yang terbaik". Sama-sama sederhana tetapi rasanya benar-benar berbeda.

Bagi saya sendiri menikah merupakan sesuatu yang sakral, bukan keputusan yang main-main atau sekedar ikut-ikutan, atau bahkan hanya karena ditentukan usia. Saya menikah ketika saya benar-benar sudah siap dengan segala hal. Saat ini pun saya juga bahagia dengan jalan hidup yang saya ambil, saya sama berharga dan sempurna nya dengan perempuan lain yang sudah menikah dan bahkan memilki keturunan. 

Menikahlah ketika sudah benar-benar siap, secara mental, fisik dan finansial. Tidak ada salahnya pula ketika perempuan memilih menempuh pendidikan tinggi  atau bahkan memilih untuk berkarir sebelum menikah maupun ketika dia sudah menikah, selama dia masih mampu melaksanakan tanggung jawabnya mengapa tidak. Tidak perlu takut apabila seorang perempuan memilih untuk menempuh pendidikan tinggi meskipun pada akhirnya perempuan harus mengurus keluarga terutama anak,harus diingat bahwa Ibu adalah sekolah pertama bagi seorang anak. Komen negatif maupun komentar yang menyakitkan sesama perempuan, sama sekali tidak ada manfaatnya bahkan tidak akan membuat kita jadi lebih baik. Perempuan kuat sudah seharusnya menguatkan dan mendukung perempuan lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun