Begini. KPK memang bisa (wajib demi kepastian hukum) untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang tidak bisa diselesaikan dalam kurun waktu 2 tahun.
Dan Penghentian Penyidikan dan Penuntutan itu mesti dipublikasikan serta dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) paling lambat 1 minggu setelah SP3 itu diterbitkan.
Catatan, SP3 ini bisa dicabut oleh pimpinan KPK manakala ditemukan bukti baru.
Sementara ini, kepastian hukum tersebut tetap mesti ditegakkan. Setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) KPK terhadap putusan kasasi mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung pada tanggal 16 Juli 2020.
PK itu diajukan KPK karena pada tanggal 9 Juli 2019 setelah MA mengabulkan kasasi Syafruddin dan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya.
Tapi... tapi... tapi... akan tetapi... nah ini dia!
Perbuatan itu menurut hakim MA tidaklah merupakan suatu tindak pidana sehingga akibatnya mesti melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Padahal... ya padahal, putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebelumnya, yaitu tanggal 24 September 2018 telah menjatuhkan vonis 13 tahun penjara plus denda Rp 700 juta terhadap Syafruddin. Bahkan, beberapa bulan kemudian, pada tanggal 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonisnya jadi 15 tahun penjara plus denda Rp 1 miliar.
Hmm... Begitulah dunia persilatan, kang-ouw tingkat tinggi, ada ilmu meringankan tubuh yang dikonversi jadi ilmu meringankan hukuman.
Lalu Harun Masiku? Ya bagaimana kabarnya Harun Masiku?
"Harun Masiku masih coba kami buru, belum ketemu juga," begitu khan pengakuan Wakil Ketua KPK Nawawi Pamulango di hadapan Komisi III DPR waktu itu.