Dalam ilmu manajemen kita mengenal istilah 'lead-indicator' (indikator-penyebab) dan 'lag-indicator' (indikator-akibat).
Aksi busuk perlawanan prokes oleh para provokator (ormas besar kepala) dan korupsi atau bancakan dana bansos oleh politisi maupun parpol adalah 'lead-indicator' yang jadi penyebab signifikan dari 'lag-indicator' di krisis-kesehatan (angka paparan) dan krisis-ekonomi (angka pertumbuhan).
Lead-indicators (indicator-penyebab) inilah yang mesti dibereskan terlebih dahulu. Bahasa politiknya: dikendalikan! Sehingga pada saatnya nanti lag-indicators (indicator-akibatnya) seperti grafik paparan positif Covid maupun angka pertumbuhan ekonomi akan baik pula hasilnya.
Maka statement politis Presiden Joko Widodo bisa kita pahami dalam konteks penanggulangan banyak indikator-penyebab (lead-indicators) yang nyatanya pekat bernuansa politis itu.
Indikator-indikator penyebab (lead-indicators) itulah yang jadi biang kerok krisis kesehatan dan ekonomi sebagai akibatnya.
Maka kita tidak bisa terlalu naif dalam menyikapi fenomena permukaan isu krisis kesehatan dan krisis ekonomi yang sedang terjadi.
Seperti caveat (peringatan dini) yang pernah disampaikan Bertolt Brecht, penyair besar Jerman yang hidup di abad ke-19 (1898-1956):
"Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik."
Lanjutnya...
"Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri."
28/01/2021