Di beberapa daerah pun kita masih kerap mendengar orang-orang kepala batu yang tidak mau bahkan melawan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Lalu, soal penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 kemarin yang dalam pelaksanaan di lapangan juga hanya gembar-gembor soal prokes sebagai jargon politik. Namun pada kenyataannya kerumunan yang diciptakan pun jadi liar tak alang kepalang.
Ini terjadi di 270 daerah (tingkat propinsi maupun kebupaten/kota). Siapa bisa membantah bahwa dampak penularan akibat event ini nihil? Pilkada serentak ini sesungguhnyalah hanya kepentingannya partai politik ketimbang kepentingannya rakyat. Ini perspektif yang bisa kita ulas atau perdebatkan kemudian.
Itulah dua masalah besar yang melatar belakangi krisis nasional di sektor kesehatan dan ekonomi).
Kedua masalah itu sudah relative "terkendali". Dalam arti, ormas besar (besar kepala dan besar modal bohir) yang kerap jadi provokator perlawanan politik terhadap pemerintah (cq Presiden Joko Widodo) itu sudah dinihilisasi dan jadi ormas terlarang. Tamat, dan secara politik artinya sudah terkendali. Ini bahasa politiknya.
Biang kerok problem politik sudah "diamankan", para bohir sedang pusing, akibatnya para wayang politik lainnya jadi gagu, gagap dan bego dalam bertindak. Apa kabar uang muka Formula-E?
Lalu soal krisis ekonomi bagaimana?
Krisis ekonomi yang sedang kita hadapi ini memang berat bukan alang kepalang. Dan pemerintahan Presiden Joko Widodo tahu persis bahwa daya beli yang jadi pendorong pertumbuhan ekonomi itu semakin melemah.
Sektor produksi mesti didorong lewat investasi dan insentif fiskal. Kalau investasi domestik kurang, ya mesti diungkit lewat investasi asing (istilahnya FDI, foreign direct investment) dan pinjaman (utang) luar negeri atau penerbitan surat berharga. BKPM dan Kemenkeu sudah mati-matian kerja keras.
Maka boleh dibilang pemerintah sudah mengambil jalan yang tepat, yaitu membidik soal daya beli ini lewat intervensi pemerintah. Caranya, dana bantuan sosial, yang -- mestinya -- langsung diberikan ke masyarakat agar bisa dipakai untuk konsumsi. Ini untuk quick-win.
Konsumsi, seperti kita ketahui bersama, adalah driver (penggerak) perokonomian Indonesa saat ini. Tanpa daya konsumsi (daya beli) tak ada stimulasi pergerakan ekonomi.