Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Sinisme dalam Demokrasi Monologisnya Barisan Sakit Hati

9 April 2020   14:51 Diperbarui: 9 April 2020   17:19 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Politik Sinisme dalam Demokrasi Monologisnya Barisan Sakit Hati*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Sinis asalnya berarti 'seperti seekor anjing'. Diogenes filsuf sinis murid Antisthenes bilang, "Aku dijuluki anjing karena aku menjilat-jilat mereka yang memberikan apa saja, menggonggongi mereka yang menolak, dan menancapkan gigiku pada mereka yang bebal." (Bryan Magee, 'The Story of Philosophy', 1998).

Kata 'sinis' masih tetap digunakan hingga sekarang, walaupun telah bergeser maknanya menjadi orang yang senantiasa melihat dari sudut pandang terburuk tentang orang lain.

Ketatanegaraan dalam alam demokrasi kita mengamanatkan pergantian kepemimpinan nasional diselenggarakan melalui pemilihan umum yang luber-jurdil.

Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Setiap lima tahun sekali. Dan seorang presiden terpilih bisa dipilih kembali sekali lagi. Jadi maksimal masa jabatannya 10 tahun.

Tatkala terpilih, ia jadi presiden untuk seluruh rakyat. Kalau ada yang menginginkan pergantian kepemimpinan nasional, boleh saja, silahkan tunggu pemilu berikutnya. Begitu tata aturan organisasi bernegara sudah disepakati bersama dan ditetapkan sebagai undang-undang. Sah dan legal.

Sementara menunggu pemilu berikutnya, semua komponen bangsa seyogianya bersatu padu mendukung dan berkontribusi optimal demi kemajuan bersama. Kontestasi lima tahunan sudah usai, yang terpilih sudah pula dilantik dan bekerja. Ajakan bergotong-royong bahu membahu pun senantiasa digaungkan.

Tapi apa lacur, masih saja ada sebagian kecil yang belum matang dalam berdemokrasi, demokrasi yang dialogis. Terkesan tidak tahu aturan ketatanegaraan kita. Nampaknya masih pekat diliputi rasa tidak puas, tidak ada damai di hati, mungkin masih memendam sakit hati, dendam politik.

Atau barangkali egosentrismenya yang menyebabkan itu semua. Merasa diri paling penting dan paling hebat sehingga tatkala tidak masuk dalam susunan kabinet atau jajaran pemerintahaan, kelompok kecil ini mengamuk. Berteriak-teriak vokal di ruang publik. Mencari perhatian.

Selain pembesar-pembesar gaek macam Fadli Zon, Rizal Ramli, dan Said Didu, ada juga kader-kader partai atau ormas yang masih lebih muda juga mbalelo. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun