Jagad perpolitikan mengharu biru dengan berita wafatnya Sang Pendiri Utama.
Ia ingin peradaban politik bangsa ini naik kelas, menjadi lebih beradab. Ia ingin partai politik yang bisa melahirkan kader politisi terbaik bagi bangsanya.
Ia sadar bahwa politik itu begitu penting. Sadar sesadar-sadarnya bahwa tidak ada persoalan bangsa yang lepas dari keputusan politik di belakangnya.
Oleh karena itu ia terjun dalam kancah politik, berjuang, membangun partai. Semata ingin membangun peradaban politik yang baru, saat itu.
Maka ia menegaskan, bahwa kader-kader partai politiknya harus bersih, pertama-tama bersih dari korupsi. Penyakit primer para politisi.
Namun apa mau dikata. Perjalanan sejarahnya tidak seindah harapannya.
Maka tatkala dipandangnya partai yang dulu ia cintai dan dirikan dengan susah payah sempat dilanda prahara 'katakan tidak pada(hal) korupsi', ia pun ambil sikap. Kader yang korupsi tidak akan dilindungi oleh partai, begitu tegasnya.
Proses hukum harus terus berjalan. Politik harus menghormati hukum. Dan ia konsekuen. Pahit memang, namun itu perlu. Seperti minum obat yang pahit, namun menyembuhkan. Apa boleh buat.
Ia terus mengikuti perkembangan partai yang ia dirikan. Ia, oleh kalangan dekatnya, disebut sebagai Sang Pendiri Utama.
Sampai saatnya tiba ketika ia memutuskan untuk membangun mesin politik baru. Dan ikut kontestasi melawan banyak partai lama, termasuk partai yang dulu ia dirikan sebagai Pendiri Utama. Namun sayang belum berhasil mendudukan kadernya di kursi dewan yang terhormat.
Tidak soal, baginya yang penting adalah terus mewarnai jagad perpolitikan bangsa. Dengan warna pelangi yang indah. Berbeda-beda tapi tetap satu. Politik yang toleran dan bersih dari korupsi, itu cita-citanya.