*Kepanikan Moral dan Para Buzzer Politik*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Moral panic adalah suatu kondisi atau episode dimana orang atau sekelompok orang muncul dan dianggap jadi ancaman terhadap tatanan nilai dan kepentingan sosial.
Beberapa kasus: Ahok (pilkada ayat-mayat), Arswendo Atmowiloto (survey tabloid Monitor), Meliana (volume toa di Tanjung Balai) dan yang baru-baru ini Romesko Purba (panitia pembangunan gereja di Karimun). Mereka semua korban moral-panic.
Belakangan ini media massa dan media sosial telah jadi saluran penting dalam hal mendiseminasi kemarahan yang seolah bermoral (moral indignation).
Tema paling murah yang bisa diangkat adalah yang berkaitan dengan agama. Agama apa pun. Jargon jualannya seperti bela agamalah, bela pemimpin agamalah, bela ayatlah, dan yang sejenisnya.
Kerena memang dalam kondisi kemasyarakatan seperti sekarang ini, jualan isu agama adalah yang paling murah (murahan) dan paling gampang. Tak perlu otak-atik otak. Cukup digelitik emosinya, dan fanatisme buta pun segera menyeruduk.
Situasi fatalistik ditengah masyarakat memang membuat mereka gampang untuk dicucuk hidungnya dengan janji surga (jualan surga). Jadi penurut seperti kerbau digiring ke pembantaian. Lugu dan bodoh.
Sementara itu para buzzer politik terus memborbardir dunia maya dengan pesan-pesan tertentu yang menguntungkan pihak sponsornya. Kalau perlu sampai terjadi moral panic.
Amplifikasi suatu isu, apalagi yang gampang menyulut emosi menjadi sasaran empuk para penjahat politik.
Ada riset dari dua ilmuwan Universitas Oxford di Inggris, Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard yang menemukan bahwa para politisi dan partai politik di Indonesia membayar buzzer untuk kerja manipulasi opini publik.