Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tahu Bahwa Ia Telanjang Lalu Malu, Takut, dan Marah

31 Januari 2020   17:07 Diperbarui: 31 Januari 2020   17:02 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Dulu di taman firdaus kabarnya manusia tak kenal rasa malu. Gara-gara Siti Hawa berbuat dosa (melawan kehendak Allah) nekat makan buah terlarang, akibatnya ia tahu bahwa ia telanjang. Dan ia pun malu. Malu di hadapan Allah.

Malu adalah perasaan, emosi atau kondisi akibat tindakannya yang ingin ditutupinya. Pemalu (penyandang rasa malu) secara naluriah tentu ingin menyembunyikan kesalahan dirinya dari orang lain. Perasaannya tak nyaman jika perbuatannya diketahui publik. Ia takut ditelanjangi.

Rasa malu dapat terjadi di mana saja. Dimensinya pun multi: psikologis, teologi, filosofis, dan sosiologis. Katanya ada dua kategori rasa malu. Disgrace shame, yaitu rasa malu berhubungan dengan 'merasa terhina', terusik kehormatan atau harga dirinya. Dan Discretionary shame, rasa malu yang terkait dengan kesopanan, etiket pergaulan.

Tentu keduanya diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan dirinya dari perbuatan yang memalukan. "Jangan malu-maluin keluarga ya!" begitu kata orang tua kita selalu.

Para pemikir jaman pencerahan misalnya Thomas H. Burgess, Charles Darwin, Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky, dan khususnya Nietzsche, percaya bahwa manusia secara kodrati memang memiliki rasa malu, dan ini positif dalam membangun relasi sosial. Sejauh proporsional tentunya.

Rasa malu berfungsi menetapkan garis demarkasi sosial yang tepat. Gunanya untuk mencegah invasi liar yang menyerbu dan melanggar kehormatan dan integritas pihak lain. Ada etika sosial disitu.

Tinjauan psikologi dan antropologi mengatakan bahwa rasa malu merupakan emosi dasar manusia yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa sombong, dan kesadaran akan diri sendiri. Namun kelanjutannya, rasa malu yang tidak pada tempatnya bisa menjebak manusia kepada depresi dan sikap anti-sosial.

Katanya orang yang mengalami rasa malu berat, artinya dia mengalami konflik internal di dalam dirinya. Konflik internal ini terjadi tatkala ia melakukan negosisasi nilai antara kenyataan dan naluri. Kalau ada diskrepansi atau ketidakselarasan antara naluri dan kenyataan, maka terjadi konflik, akibatnya timbul rasa malu.

Dampak rasa malu bisa bikin orang jadi mudah marah, ngambek, ngomel, sampai akhirnya mencaci-maki.

Sang Pemalu (penyandang rasa malu) cenderung kehilangan percaya diri dan akhirnya menarik diri dari lingkungan. Orang juga bisa menutupi rasa malunya dengan bersikap narsis, sikap cinta diri yang berlebihan. Semacam pemberhalaan diri sendiri. Ini sesungguhnya adalah sikap eskapisme, pelarian diri. Takut malu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun