Mohon tunggu...
Andreas Eko Soponyono
Andreas Eko Soponyono Mohon Tunggu... Guru - Educator | Active Learner

Blessed to be a blessing!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Soal Susah Berkedok HOTS Vs Soal Kritis: Manakah yang Tepat untuk Menguji Kompetensi Peserta Didik di Masa Pandemi?

29 Juli 2021   22:45 Diperbarui: 29 Juli 2021   23:02 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Critical thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik di era 21st Century Learning. Salah satu dari keterampilan tersebut yaitu critical thinking. Apa sebenarnya berpikir kritis? Apa manfaatnya berpikir kritis? Singkatnya adalah generasi Indonesia akan menjadi generasi kritis ketika kita selalu mempertanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” untuk setiap peristiwa yang terjadi. Bukan sekadar mempertentangkan suatu aturan atau kebijakan baru, namun mencari tahu dan mengolah setiap informasi berupa fakta dengan tepat. Pikirkan! Salah satu yang tercermin jelas di Indonesia yang dapat di amati adalah ketika terjadi sesuatu informasi viral, coba analisisnya dari komentar bahkan postingan yang disampaikan oleh masyarakat, “Seberapa banyak yang menjadi korban ikut-ikutan?” atau “Seberapa banyak bahkan secara tidak sadar menjadi provokator?” Tanyakan juga latar belakang mereka, “Apakah benar mereka paham dengan yang mereka lakukan?” Ini merupakan sebuah PR besar bagi bangs aini bukan sekadar pemimpinnya bahwa harus menjadi masyarakat yang semakin cerdas dan kritis. Jangan sampai kita menjadi pembela “yang tidak seharusnya kita bela”, atau menjadi provokator untuk sesuatu “yang sebenarnya tidak tepat”.

Pemikiran kritis ini memang tidak mudah disampaikan kepada masyarakat, kemudian seketika dapat berubah drastis. Ini merupakan sebuah proses yang perlu dibentuk dan menjadi kultur budaya yang melekat dalam masyarakat. Salah satunya adalah melalui dunia Pendidikan. Jika dunia ekonomi, dunia bisnis, bahkan dunia kesehatan di masa pandemi Covid-19 ini mengalami goncangan dahsyat yang luar biasa dalam hal kestabilan dan mempertahankan untuk tidak collapse. Begitu juga dengan dunia pendidikan, namun bukan berarti pendidikan tidak ada begitu saja. Hanya perlu penyesuaian atau adaptasi dari mengubah sesuatu yang biasanya secara langsung menjadi serba digital. Namun, apakah kita akan terus mengalami adaptasi? Jika terus berpikir terus adaptasi maka akan mengalami kebangkitan?

Salah satu yang mungkin di awal pandemi Covid-19 ini alami adalah mengubah pembelajaran laring menjadi pembelajaran daring, sehingga banyak sekolah sekadar memberikan beban tugas ke peserta didiknya tanpa memberikan penjelasan konsep penting. Sampai kapan peserta didik sekadar diberikan beban tugas tersebut? Tidak adakah penyesuaian adaptasi yang tepat untuk mereka. Belum lagi, ketika guru dituntut untuk memberikan soal HOTS namun kenyataannya bukan HOTS melainkan soal susah.

Pernahkah Anda menjumpai atau mengalami di mana Anda diberikan suatu soal yang tidak bisa Anda selesaikan? Bukan karena Anda tidak belajar atau bukan juga ketika Anda tidak mempersiapkannya dengan baik sebelum mengerjakan soal tersebut. Atau Anda tidak dapat mengerjakan soal tersebut karena itu merupakan istilah atau kosa kata yang baru? Atau bahkan Anda baru memulai kelas dan itu merupakan soal yang memiliki level di atas kelas yang baru kamu akan mulai? Inilah yang sering kita ketemui secara tidak langsung di beberapa sekolah formal saat ini, baik jenjang SD, SMP, bahkan SMA.

Coba pikirkan hal ini ilustrasi berikut. Anda sebagai guru SD kelas 1 di mana peserta didiknya baru akan masuk di kelas Anda. Setelah belajar mengenai angka 1 sampai 20, kemudian Anda bertanya "Berapa angka setelah 100?" Kemudian semua peserta didik terdiam dan bertanya, itu 100 itu angka berapa? Inilah yang secara tidak langsung terjadi, di mana banyak guru berekspektasi tinggi kepada peserta didik dan agar nilainya sulit didapatkan maka diberikan soal yang susah. Bandingkan dengan kasus yang sama, namun dengan soal berikut, "Coba tentukan, angka berapa yang berada di tengah-tengah antara angka 1 sampai 5?" Untuk anak SD, mereka akan mulai gunakan kemampuan berpikir kritisnya meskipun soalnya sangat mudah bagi orang dewasa, namun bagi mereka itu sesuatu yang baru, tetapi itu bukanlah pertanyaan yang tidak bisa dikerjakan peserta didik karena mereka sudah belajar dasarnya yaitu bilangan 1 sampai 20.

Mari pikirkan bersama juga. Ketika peserta didik jenjang SMA yang sering menjadi ajang untuk guru membuat soal paling sulit di antara guru lain. Anggap saja di pelajaran Matematika, di salah satu topik yaitu Statistika, khususnya mengenai ukuran penyebaran data tunggal. Kemudian diberikan 50 datum dari suatu data, dan guru menanyakan mengenai ragam dan standar deviasinya, ditambah lagi durasi pengerjaan untuk satu soal maksimal 5-10 menit. Benar bahwa ini akan menjadi soal sulit, tetapi bukan karena tingkat kompleksibilitasnya melainkan waktu pengerjaan yang tidak sesuai.

Bentuk-bentuk soal seperti yang dipaparkan di atas yang sering dijadikan instrumen untuk menguji kompetensi peserta didik sepertinya perlu dievaluasi. Sebagian besar masih berpikir bahwa soal HOTS merupakan soal susah. Jelas disini, bahwa saya tidak setuju! Mengapa? Soal HOTS bukanlah soal susah, melainkan soal kritis. Apa perbedaannya? Lalu bagaimana dampaknya?

Soal susah merupakan soal yang dirancang guru agar peserta didik mengalami kesulitan dalam mengerjakannya. Faktanya, peserta didik memang kesulitan mengerjakannya namun bukan karena mereka bodoh, tetapi karena banyak istilah baru, atau durasi pengerjaan yang tidak logis, bahkan guru sekadar “comot” soal olimpiade untuk dijadikan soal susah, dimana notabene untuk peserta didik yang tidak terlatih soal tersebut akan cenderung menyerah mengerjakannya. Dampaknya, budaya untuk mengandalkan mencari jawaban di internet semakin tinggi. Terlihat sebagian peserta didik menjadi “malas” berpikir dan lebih baik mencari jawaban dengan browsing sebagai shortcut yang peserta didik tempuh. Selain itu, kecenderungan jawaban yang sama peserta didik satu dengan lainnya yang ternyata bersumber dari sebuah website yang sama.

Sedangkan, untuk soal kritis, merupakan soal yang dirancang guru dengan memperhatikan tingkatan perkembangan kemampuan peserta didik. Jika peserta didik sudah sampai tahapan 1, maka dapat diberikan tahapan 2, dan seterusnya. Tahapan inilah yang mengacu pada bloom taxonomy dalam mengkategorikan tingkat kognitif manusia di mulai dari mengingat, memahami, sampai pada tahapan menciptakan sesuatu. Soal kritis akan mengajak peserta didik untuk tidak menyerah, melainkan mengajak peserta didik menggunakan prior knowledge yang dimilikinya agar mampu menyelesaikan masalah baru yang diberikan. Feedback yang diberikan dari jawaban soal kritis pun tidak serta merta memberikan nilai 0 bagi peserta didik yang salah menjawab, dan memberikan nilai 100 jika benar. Tetapi, lebih dari itu, proses menjadi sebuah perhatian tersendiri dari soal kritis sehingga feedback yang diberikan pun memperhatikan kemampuan berpikir peserta didik sejauh mana. Sehingga, jelas sekali bahwa melalui soal kritis ini, peserta didik diajak menggunakan setiap potensi dan pengetahuannya di dalam memecahkan suatu masalah.

Pemerintah Indonesia pun dalam hal ini terus memperbaiki sistem penilaian di dunia pendidikan melalui Kemendikburistek, yaitu penggondokkan penilaian AKM. Harapannya ini sebagai salah satu strategi yang digunakan untuk mengubah sistem penilaian selama ini yang cenderung berbasis drill alias UN/UNBK di mana menjadi momok sebagai soal susah dan akhirnya banyak institusi pendidikan memberikan shortcut berupa “cara cepat” bukan lagi penilaian proses. Perlu diperhatikan juga bahwa soal kritis yang sebenarnya mengarah pada peningkatan HOTS atau Higher Order Thinking Skill tidak akan menjadi HOTS lagi, ketika soal tersebut sering diberikan ke peserta didik. Artinya, soal kritis yang bertujuan meningkatkan HOTS peserta didik harus bersifat dinamis. Misalnya, ketika kita memberikan soal kritis berkaitan membandingkan dua data kemudian mereka analisis apakah data tersebut benar? Maka itu tidak akan menjadi soal HOTS lagi ketika sudah diberikan berkali-kali, bahkan belum tentu tepat untuk tahun-tahun selanjutnya. Oleh sebab itu, sangat kurang tepat sekali, jika seorang guru memberikan soal yang sama tiap tahun kepada peserta didik yang berbeda sekalipun, karena perlu ada upgrade dan penyesuaian dengan skill apa yang perlu untuk terus digali saat ini. Mari tanamkan pendidikan di Indonesia dengan soal kritis, bukan semata-mata soal susah berkedok HOTS!

Andreas Eko Soponyono | Mahasiswa Komunikasi Universitas Siber Asia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun