Mohon tunggu...
Andreas Maurenis Putra
Andreas Maurenis Putra Mohon Tunggu... Penulis - Nian Tana (Sikka)

Filsuf setengah matang... Sempat mengais ide di Fakultas Filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bencana: Sebuah Diskursus

28 Januari 2021   16:18 Diperbarui: 28 Januari 2021   21:57 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada 300 SM, Epikuros pernah merumuskan kegelisahannya tentang Tuhan. Kalau Tuhan itu ada, dari manakah datangnya bencana? Kalau Ia sungguh-sungguh ada, Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahatahu, mengapa Ia tidak campur tangan untuk mencegah berbagai pengalaman hidup yang buruk dan mengerikan itu? (Kleden, 2007).  

Pertanyaan sang cendekiawan Yunani kuno, rupa-rupanya selalu terulang oleh bangsa manusia hingga hari ini. Tuhan selalu menjadi fakta yang dipersoalkan dalam kepasrahan. Di kala hilang harapan, dalam situasi batas, dan ketika rasionalitas tak mampu menepis krisis hidup, Dia adalah sandaran terakhir. Tuhan adalah tempat pelarian sekaligus gugatan final kala situasi menjadi tak menentu.

Persis di ranah ini, sadar atau tidak, kita melakukan hal serupa. Sebagai bangsa religius, gugatan terhadap eksistensi Tuhan akibat rentetan peristiwa kemanusiaan yang tak kunjung berakhir, merupakan sesuatu yang murah meriah. Kita mempertanyakan eksistensi Tuhan, memperkarakan kemaharahiman-Nya tetapi di saat bersamaan, kita seakan mengingkari keilahian dalam kemausian kita. 

Bukankah kita adalah “cerminan Allah”, memiliki sifat-sifat keilahian dalam diri? Sudah sejauh mana kita menarasikan keilahian diri kita dalam kontekstualisasi iman yang transformatif? Sejauh mana sifat-sifat Allah (kasih sayang, murah hati, lemah lembut, damai, pemelihara, bijaksana) yang teremanasi dalam diri, dipraksiskan? 

Di tengah silih bergantinya badai duka kemanusiaan, kita “mengadili” Tuhan. Kita persis Epikuros. Mempertanyakan-Nya adalah dalih dan sikap apologetis atas semua ketakutan terhadap tuntutan tanggung jawab untuk “mengusahakan dan memelihara taman dunia (bumi)” (bdk. Kejadian, 2:15)

Beraneka macam bencana mengepung tatanan hidup manusia. Mulai dari Pandemi Covid-19, kecelakan Sriwijaya Air, tanah longsor di Sumedang, banjir di Kalimantan Selatan dan gempa di Sulawesi Barat. Yang kita “baca” dari rentetan peristiwa ini adalah tentang “teguran Tuhan” bukan menelisik seluruh kegagalan atas tanggung jawab kemanusiaan kita. 

Kita memaafkan “kerapuhan dan kelalaian” manusiawi dengan cara mempertanyakan kemaharahiman Allah: mempertanyakan eksistensi-Nya. Kita tak ubahnya dengan menyalahkan kerikil kecil saat terantuk ketimbang menegur diri atas kekurang hati-hatian sendiri.

Maka ketimbang mempersoalkan “bencana sebagai teguran Tuhan”, beragam kenyataan krisis hidup mestinya menghantar kita pada sharing pengalaman rohani yang lebih mendalam, yang sesungguhnya berakar pada kemanusiaan kita daripada menggugat Tuhan. 

Membicarakan tujuan hidup, menyadari kerapuhan sehingga butuh penyertaan Tuhan, bertanya apa yang Tuhan kehendaki pada hidup sejak awal penciptaan adalah lebih urgen dan esensial. Karena dari konteks inilah, manusia akan disadarkan kembali akan fenomena dan makna sesungguhnya sebuah krisis kehidupan. Kesadaran ini akan membawa kembali manusia ke ihwal awal penciptaan, merenungkan kepercayaan Pencipta menghadirkannya di bumi dan kepercayaan penyerahan seluruh ciptaan lain ke dalam “kuasa manusia”. 

Tentu, di balik semua ini, sesungguhnya ada pertanyaan besar yang perlu disematkan. Apa peran (pembelajaran) agama-agama bagi manusia? Tak dipungkiri, konsen agama-agama adalah intens mempertanyakan hakikat Tuhan. Siapa itu Tuhan? Seakan-akan eksistensinya dapat dipenjarakan dalam satu-dua rumusan belaka. 

Dalam bahasa yang sedikit ekstrim, agama hanya mengobral tentang hal-hal transendental tetapi tidak mampu menyelami rahasia Ilahi dalam terang realitas kehidupan nyata. Di sini peran agama “tak lebih dari obat penghibur batin tanpa pesan pembebasan bagi umat manusia” (J.B Metz). Agama-agama mengajarkan tentang Tuhan tetapi seringkali gagal menekankan apa yang dikehendaki Tuhan di dalam dunia. Di sini terjawab. Tidak ada kehendak buruk dari Tuhan untuk dunia. Tuhan menginginkan dunia ini menjadi lebih baik, dijaga dan dirawat. Dan perspektif demikian diajarkan dengan sangat ketat oleh agama manapun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun