Pagi-pagi sekali, Pak Rahman (bukan nama sebenarnya) sudah berdiri di depan kios pupuk di kecamatan. Di papan, harga eceran tertinggi tertulis jelas. Di kantong, uangnya pas-pasan. Di kepala, ada satu tanya: "Kenapa yang sederhana begini selalu terasa rumit?" Ia petani padi, lahannya tak sampai dua hektare. Katanya, dialah yang jadi sasaran prioritas. Katanya, pupuk bersubsidi disiapkan agar panen bisa lebih pasti. Tapi dari kata ke kenyataan, jalannya sering berliku.
Sejak puluhan tahun lalu, bahkan sejak 1970-an negara berjanji meringankan beban petani lewat pupuk bersubsidi. Logikanya kuat: pupuk adalah kunci intensifikasi; kalau harganya terjangkau, produktivitas naik, pangan lebih aman. Skemanya pun lengkap: jenis pupuk, alokasi, harga eceran tertinggi, hingga siapa yang berhak membeli. Dalam kertas kebijakan, semuanya tampak rapi. Namun di lapangan, Pak Rahman berkali-kali mendengar cerita yang sama: stok mendadak langka, harga di atas papan, atau pupuk datang telat saat musim tanam sudah mengetuk pintu.
Di belakang etalase kios, ada birokrasi panjang yang jarang terlihat. Kebutuhan dihitung dari rencana kelompok tani, alokasi dibagi hingga tingkat desa, lalu produsen menunjuk distributor dan pengecer. Dalam teori, mekanisme ini menutup celah; dalam praktik, justru di celah-celah itulah kebocoran kerap bersembunyi. Data rencana kebutuhan kelompok yang mestinya jadi kompas kadang mengembung: lahan "meluas" di atas kenyataan, jumlah petani "bertambah" dari yang sebenarnya. Ketika kompasnya melenceng, arah penyaluran ikut goyah.
Di sisi lain, ongkos produksi dan distribusi dihitung cermat untuk menakar besaran subsidi. Tapi di beberapa titik, muncul tagihan atas pupuk yang belum benar-benar sampai ke tangan petani, sekadar angka di dokumen pengiriman. Ada pula biaya yang bukan bagian inti produksi ikut menumpang dalam perhitungan. Bagi Pak Rahman, semua itu terdengar seperti kabut akuntansi: tak terlihat, tapi terasa menyesakkan saat ia membayar lebih mahal atau pulang dengan tangan kosong.
Rantai distribusi yang panjang mulai dari pabrik, gudang provinsi, gudang kabupaten, hingga kios membuka banyak kemungkinan: pengiriman terlambat, kemasan berganti rupa, stok "mengendap" di gudang, atau pupuk melintas ke wilayah yang bukan haknya. Bahkan, ada kios yang berjualan tanpa status resmi. Dan di ujung rantai, di depan papan harga, petani lah yang menanggung akibat, membayar lebih dari yang seharusnya, atau tak kebagian sama sekali ketika musim tanam tak menunggu.
Fungsi pengawasan sebetulnya sudah dititipkan kepada komisi khusus di daerah. Mereka diminta memantau penyaluran, memastikan harga, dan menyusun laporan. Namun di banyak tempat, pengawasan berjalan pincang: mandat kurang dipahami, anggaran terbatas, laporan tak rutin. Maka tak heran, suara petani sering baru terdengar setelah kelangkaan terjadi, bukan dicegah sebelum masalah membesar.
Lalu apa jalan pulangnya? Jalannya bukan satu, dan tidak spektakuler, tetapi konkret. Pertama, benahi kompasnya: perkuat pendataan kebutuhan kelompok tani secara partisipatif, terbuka, dan mudah diaudit, buka data hingga tingkat desa agar publik bisa ikut mengoreksi. Kedua, pendekkan dan terangi rantai distribusi: pasang kewajiban papan harga dan stok di tiap kios, dorong pelacakan sederhana berbasis bukti pengiriman yang bisa difoto dan diunggah, serta pastikan relokasi antarrayon tercatat rapi dan dapat diawasi. Ketiga, disiplinkan akuntansi subsidi: tegaskan komponen biaya yang boleh dan tidak boleh masuk perhitungan, bayar hanya untuk volume yang sah sampai titik serah. Keempat, kuatkan pengawas daerah: beri anggaran yang memadai, ukur kinerjanya, dan libatkan penyuluh serta masyarakat, karena mata warga sering lebih sigap dari surat dinas. Kelima, susun ulang kebiasaan lama: edukasi berkelanjutan untuk pengecer dan kelompok tani, agar aturan tak berhenti sebagai poster di dinding.
Suatu hari, Pak Rahman berdiri lagi di depan kios yang sama. Kali ini, papan harga tak hanya terpampang; stok harian pun dicantumkan, dan nomor pengaduan tercetak jelas. Ia membeli sesuai haknya, dengan harga yang sama seperti di papan. Bukan kisah keajaiban, tapi hanya buah dari data yang rapi, jalur distribusi yang jernih, dan pengawasan yang hadir sebelum masalah datang. Jika janji awal subsidi adalah meringankan beban petani, maka begitulah seharusnya cerita ini diakhiri: lebih sederhana di kios, lebih pasti di sawah, dan lebih tenang di hati.(*ASP)